Saat
kita kecil mungkin sebagian pernah menonton film kartun atau membaca cerita
tentang puteri dan pangeran. Semua dongeng dan cerita itu kebanyakan berakhir
dengan bahagia meski pun pada awalnya sang puteri selalu mendapatkan kesusahan.
Seorang
teman merasa kesal dengan cerita-cerita puteri dan pangeran. Menurutnya semua
cerita itu pasti berakhir tentang laki-laki. Sepertinya laki-laki itu sesuatu
yang pantas didapatkan perempuan. Intinya, laki-laki adalah makhluk berharga
yang harus diraih dengan bekerja keras. Dimaklumi jika teman saya kesal karena
dia perempuan.
Cerita
atau dongeng puteri yang dibuat film entah itu kartun atau animasi atau bahkan
dibuat drama pertunjukan teater memang terkesan mendambakan pangeran, kita
sebut saja pangeran impian. Cerita puteri bertemu pangeran yang paling banyak
dan mungkin pertama kali dibuat film kartun adalah dari Walt Disney. Penemu
tokoh kartun Mickey tikus itu sohor sebagai pembuat film kartun yang melegenda.
Benarkah cerita puteri bertemu pangeran itu ada dalam kehidupan sehari-hari?
Bagi
sebagian anak perempuan mungkin pernah atau tahu cerita puteri, sebut saja
Cinderella alias Upik Abu. Cinderella terpaksa tinggal bersama ibu dan dua
orang saudara tirinya karena ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan
janda beranak dua yang kebetulan dua-duanya perempuan. Setelah ayahnya
meninggal, Cinderella yang masih keturunan bangsawan itu terpaksa menjadi pengurus
rumah tangga karena takut oleh ibu dan saudara tirinya. Namun di akhir cerita
Cinderella bertemu dengan pangeran dan menikah. Dengan dinikahi pangeran maka
terbebas semua deritanya.
Bukan
hanya puteri atau keturunan bangsawan, pun ada cerita tentang perempuan Indian
yang menolong seorang laki-laki kulit putih dan membuat si laki-laki itu jatuh
cinta padanya. Namun demikian laki-laki kulit putih itu tidak menikahinya
karena dibunuh oleh laki-laki Indian yang juga jatuh cinta kepada si perempuan.
Tetapi perempuan Indian itu tidak menikah dengan laki-laki Indian melainkan
dengan laki-laki kulit putih lain yang lalu memboyongnya ke Eropa. Itu semua
sebenarnya adalah cerita benar terjadi dan bukan dongeng sebelum tidur atau
dongeng dalam film kartun. Perempuan Indian itu bernama Pocahontas.
Bukan
pula melulu cerita tentang puteri dan pangeran. Bagi umat nasrani pasti pernah
mendengar cerita tentang Santa Klaus atau Sinter Klas yang akan datang
memberikan hadiah pada saat menjelang natal jika anak-anak tidak nakal, rajin
membantu orang tua, atau rajin belajar. Selama bertahun-tahun anak itu
menantikan kedatangan Santa Klaus dengan harap-harap cemas apakah selama ini
mereka tidak nakal. Terakhir tentunya mereka menerima hadiah-hadiah yang
disembunyikan seakan hadiah itu diberikan oleh Santa. Kenyataan sebenarnya
hadiah itu diberikan oleh orang tuanya yang sudah menilai apakah anaknya pantas
diberikan hadiah.
Apa
yang dilihat teman saya itu memang kelihatannya hanya melulu tentang berakhir
dengan laki-laki. Padahal banyak hal yang luput dari perhatiannya. Salah satunya
adalah apa yang sering kita dengar tentang pepatah berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Dan
kebetulan saja pembuat film kartun sekelas Walt Disney menggunakan simbol-simbol
puteri dan pangeran.
Dalam
simbol-simbol puteri dan pangeran itu diceritakan bagaimana orang harus
menjalani sesuatu yang menuntutnya bekerja keras jika ingin mencapai sukses.
Sebab kesuksesan itu sepertinya sulit untuk diraih seperti kita menjentikkan
jari. Terlebih lagi jika kita tidak punya modal materi untuk meraih sukses.
Modal yang kita punya hanya niat dan kesungguhan. Mempunyai modal materi pun
tidak berarti langsung meraih sukses yang dicita-citakan karena tentunya harus
memutar modal itu agar berkembang.
Jadi
apa pun jenis cerita, dongeng atau film sekali pun tentunya ada suatu pesan
yang ingin disampaikan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya dengan pandangan
yang benar-benar jeli. Karena jika pesan yang disampaikan secara langsung sudah
tentu tidak akan menarik untuk dilihat apalagi didengarkan.
No comments:
Post a Comment