Agheelz Go Blog

Hai. Selamat datang di Agheelz Go Blog. Blog ini berisi tulisan-tulisan saya, beberapa sumbangan tulisan lain dari teman-teman, saran atau ide atau pendapat dan dari kumpulan hasil berburu berita. Karena saya juga senang memotret, saya juga tampilkan hasil memotret itu kedalam blog saya. Kritik atau saran atau ide saya terima dengan tabah.
Showing posts with label DI MEDIA. Show all posts
Showing posts with label DI MEDIA. Show all posts

Saturday, October 19, 2013

Dialog Publik Taman Margasatwa Ragunan Jakarta


Halo…! Apa kabar semua? Kami mau melaporkan berita untuk para pendukung Planet Satwa. Ini dia laporannya.
SONY DSC
     Pada hari Selasa tanggal 8 Oktober 2013, Planet Satwa diundang oleh Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta dalam acara Dialog Publik dengan tema ”Menuju Masyarakat Ramah Satwa” sekaligus menyambut ulang tahun ke-150 pada tahun 2014 nanti. Dialog publik dimulai dari jam 09.00 sampai 19.00. Banyak para pemerhati satwa, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, pelajar, dan pengajar yang diundang dalam acara ini. Dialog publik ini dibuka dengan resmi oleh Gubernur DKI Jakarta Ir. Joko Widodo pada jam 09.00 dengan semua hadirin menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpin oleh Ibu Teti dari Taman Margasatwa Ragunan.
     Dalam pidato pembukaannya, gubernur mengatakan bahwa Taman Margasatwa Ragunan merupakan terluas ke-2 di dunia dan tertua ke-3 di dunia. Gubernur juga mengharapkan agar nantinya TMR akan menjadi nomor 1 dengan tata laksana yang lebih modern seperti Singapore Zoo. Untuk itu peran serta masyarakat diperlukan sebagai upaya memajukan TMR.
Ketua Dewan Pengawas, Bapak Hashim Djojohadikusumo yang memimpin dialog publik ini dengan moderator Bapak Eka Budianta. Para nara sumber diantaranya:
  1. Mr. Cameron Kerr, CEO dari Taronga Conservation Society Australia (Taronga Zoo).
  2. Dr. Novianto Bambang, Direktur Konservasi dan Keragaman Hayati Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.
  3. Ibu Endang Widjajanti, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Provinsi DKI Jakarta.
  4. Prof. Ir. H. Surna Tjahja Djajadiningrat, Msc., Ph.D. (Prof. Naya) Guru Besar ITB bidang Manajemen Lingkungan, pendiri dan ketua ESQ Business School.
  5. Dr. Willie Smits, pendiri Borneo Orangutan Survival Foundation (BOS), pendiri Samboja Lestari di Kalimantan sebagai tempat rehabilitasi orangutan, pendiri Yayasan Gibbon, mantan penasihat Menhut bidang konservasi dan reboisasi serta penerima Satya Lencana Pembangunan 1998.
  6. Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia, Rhino Protection Units dan Sumatran Rhino Sanctuary.
  7. Jatna Supriatna, Ph.D, Country Director dan Executive Director Konservasi International.
  8. Sonny W. Widjanarko, Direktur Sea World Indonesia dan pakar akuarium terkemuka.
 
Selain nara sumber tadi juga menghadirkan beberapa pembicara seperti:
  1. Ir. Marsawitri Gumay, Kepala BLUD Taman Margasatwa Ragunan dan ketua panitia dialog publik.
  2. Mr. Ian dari Yayasan Gibbon
  3. Tony Sumampaw, Direktur Taman Safari
  4. Jansen Manangsang, Wakil Direktur Taman Safari
  5. Kak Seto Mulyadi pendiri Komnas Perlindungan Anak
 narasumber 3
Dalam dialog publik itu, Planet Satwa mengajukan beberapa saran yaitu:
  1. Membangun kemitraan strategis dengan komunitas pemerhati satwa.
  2. TMR perlu menggandeng Komunitas Pemerhati Satwa (KPS) sebagai mitra edukasi dunia satwa. TMR menjadi ”Learning Center” bagi KPS. Membantu meluruskan mindset yang kurang tepat ikhwal dunia satwa yang menjadi interest kalangan  KPS.
  3. Papan petunjuk satwa. Membuat seperti papan nama jalan yaitu dasar berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih. Dilengkapi pada tiap titik. Meski pun kandang salah satu satwa jauh tetapi tetap dituliskan berurutan pada satu papan. Pengunjung dari pintu timur bisa mengetahui arah jenis satwa yang berada di pintu utara dan pintu barat. Dan demikian juga pada setiap pintu masuk. Membuat papan peta lokasi di beberapa tempat.
  4. Tempat sampah. Tidak tersedia cukup tempat sampah baik di dekat kandang satwa mau pun di taman. Menyediakan banyak tempat sampah juga di dekat kandang dan taman.
  5. Tiket dan peta. Karena harga tiket masuk yang murah maka banyak sampah tiket dan asuransi. Membuat undian nomor tiket. Hadiah bisa berupa tiket masuk gratis selama 1 tahun berlaku untuk 2 orang. Hadiah juga bisa berupa boneka atau buku atau lainnya. Menyediakan peta di setiap loket.
  6. Toilet. Menambah jumlah toilet atau dengan menyediakan toilet kontainer (toilet bus) terutama pada hari-hari libur.
  7. Satwa. Umumnya pengunjung melemparkan makanan kedalam kandang display karena ingin melihat satwa bereaksi lalu difoto.
  8. Shelter. Membuat shelter-shelter tempat berteduh terutama untuk pengunjung anak-anak dan orang lanjut usia.
  9. Perpustakaan. Menyediakan perpustakaan publik, layanan internet, fotocopy, penjualan ATK ringan, percetakan (print) foto.
  10. Tower. Mendirikan tower  atau menara pengawas.
  11. Pedagang kaki lima. Mengumpulkan para pedagang kaki lima dalam beberapa titik saja sehingga tidak tersebar di setiap wilayah TMR.
  12. Makanan satwa. Menyediakan atau menjual makanan untuk satwa berikut daftar jenis satwa yang bisa diberikan makanan itu.
  13. Perawat satwa siap siaga. Perawat satwa sering tidak berada di tempat sehingga pengunjung tidak bisa bertanya-tanya tentang satwa hanya mengandalkan keterangan di papan kandang. Papan keterangan satwa sebaiknya dilengkapi juga dengan keterangan habitat, diet, asal satwa. Perawat satwa atau lainnya secara bergantian standby di dekat kandang satwa. Perawat satwa juga diwajibkan mengenakan sepatu saat bertugas sehingga meningkatkan wibawa. Perawat satwa juga berhak menegur pengunjung yang kedapatan melempar makanan selain makanan yang disediakan atau dijual untuk satwa kedalam kandang satwa.
  14. Layar besar. Membuat layar monitor besar yang memutar film tentang satwa TMR, pengumuman atau lainnya.
  15. Sayembara. Membuat sayembara memberikan nama kepada satwa yang baru lahir di TMR.
  16. Majalah dan situs. Membuat majalah tentang satwa. Membuat situs TMR yang aktif.
Dari semua usulan dalam dialog publik itu kemudian dirangkum menjadi 20 kesepakatan yang nantinya akan dilaksanakan oleh Taman Margasatwa Ragunan yaitu:
KESEPAKATAN USULAN DIALOG PUBLIK
TMR, 8 Oktober 2013 
  1. TMR tetap milik Negara, milik rakyat (tidak diswastakan)
  2. TMR diharapkan menjadi yang  terbaik di dunia
  3. TMR menajamkan fungsi konservasi, edukasi (pendidikan dan penelitian) serta rekreasi
  4. TMR berkomitmen menjalankan manajemen secara transparan, bisa diakses oleh publik dan tidak korupsi
  5. Menuju masyarakat ramah satwa dimulai dari pendidikan formal, non formal dan informal, memberi pemahaman dan menanamkan kepedulian kepada anak-anak (program kunjungan anak sekolah, memasukkan kurikulum ramah satwa, museum satwa, duta satwa untuk anak, dan lainnya)
  6. TMR memprioritaskan kesejahteraan satwa (pakan satwa, pengaturan libur bagi satwa, mengendalikan polutan suara agar tidak mengganggu satwa, peningkatan kualitas dan kwantitas dokter hewan dan perawat satwa, strategi manajemen perawatan dan kesehatan satwa, membuat habitat  sehat untuk satwa dan lainnya)
  7. Memperketat  aturan dan pengawasan bagi pengunjung dan pedagang
  8. TMR membuka diri bagi partisipasi publik (sukarelawan, LSM, media dan pihak lainnya) sesuai aturan, misalnya dengan program adopsi flora dan fauna, pelatihan relawan  dan lain-lainnya
  9. Sebagai lembaga konservasi, TMR menargetkan akreditasi nilai A dari Kementerian Kehutanan dan menjadi percontohan bagi taman margasatwa lainnya di Indonesia dalam waktu 2 (dua) tahun
  10. TMR memperhatikan keamanan dan ketertiban di dalam dan di sekitar area TMR, termasuk membuat buffer zone dan memasang CCTV
  11. TMR melakukan laporan pendataan satwa (dalam kurun waktu 1 x dalam 3 bulan) dan dilakukan pengawasan/verifikasi oleh badan independen  (pihak ketiga) sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
  12. Dalam menyusun master plan, TMR akan melibatkan publik, (misalnya dengan menyelenggarakan sayembara desain) dan akan  memperhatikan kelengkapan fasilitas (diutamakan 26 toilet, kelengkapan penanda/papan penunjuk, incubator, sarana bagi difabel, perpustakaan, green building, alat  transportasi yang  tidak mengganggu satwa, optimaliasisi perawatan satwa  (kandang yang tepat), taman, alokasi pedagang).
  13. TMR menerapkan Standar Pelayanan Minimal untuk pengunjung sebelum memberlakukan kenaikan tiket masuk dengan pertimbangan lebih tinggi untuk pengunjung  warga asing
  14. TMR akan membangun pusat penyelamatan satwa (rescue center) satwa sitaan terutama untuk satwa yang sangat terancam kepunahan.
  15. TMR bekerjasama dengan pihak yang berwenang  dan pihak ketiga/ independen untuk pengelolaan satwa yang mati, yaitu dokter hewan yang ahli dibidangnya dalam menetapkan penyebab kematian
  16. TMR memperhatikan kesejahteraan karyawan termasuk petugas keamanan dan perawat satwa
  17. TMR membuat perencanaan strategi komunikasi yang  terencana dan berkesinambungan serta branding secara professional
  18. Dalam rangka pelestarian satwa, TMR bekerjasama dengan komunitas pemerhati satwa dan lembaga konservasi lainnya  melakukan tukar menukar  satwa untuk rehabilitasi dan  pelepasliaran satwa berdasarkan pertimbangan LIPI dan atas persetujuan Kementerian Kehutanan
  19. TMR bekerjasama dengan instansi/dinas terkait agar bisa mewujudkan layanan dan prasarana publik yang terpadu
  20. Untuk menyambut HUT ke-150 , TMR akan membangun replika kebun binatang Cikini dan memasang patung Raden Saleh sebagai pendirinya
      Ternyata sebagian besar usulan dari Planet Satwa dimasukan kedalam master plan (kesimpulan nomor 12) dan selebihnya tersebar di nomor 3, 6 dan 18. Pada kesempatan itu juga pihak TMR memberikan penghargaan kepada Ibu Ulla Von Mendel yang berusia 93 tahun. Beliau sangat berjasa dalam mengembak biakan orang utan sejak tahun 1955. Sudah ratusan ekor orangutan yang lahir di TMR dan dikirimkan ke banyak kebun binatang di seluruh dunia. Dialog publik kemudian ditutup oleh Hashim Djojohadikusumo.

Sunday, July 14, 2013

Planet Satwa Ajak Anak Pemulung ke TMR

Written by Safari Sidakaton

Monday, 08 July 2013

Anak-anak pemulung saungelmu diajak mengenal satwa dan lingkungan di Taman Margasatwa Ragunan/Dok Planet Satwa
Anak-anak pemulung saungelmu diajak mengenal satwa dan lingkungan di Taman Margasatwa Ragunan/Dok Planet SatwaUntuk mengenalkan lingkungan, sekaligus berekowisata. Komunitas pecinta satwa, Planet Satwa mengajak sejumlah anak-anak pemulung yang menempuh pendidikan di saungelmu ke Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan, Sabtu (6/7).

Kegiatan ini diikuti sedikitnya 15 anak yang terdiri dari 10 anak saungelmu A (setara TK-SD) dan 5 anak saungelmu B (setara SMP). Selain itu, 6 tutor saungelmu juga turut serta dalam kegiatan yang berlangsung dari pukul pukul 10.00-14.00 WIB tersebut.

Acaranya sendiri diisi dengan berbagai kegiatan, diantaranya adalah mengunjungi semua jenis satwa yang ada di TMR. Mulai dari mamalia, unggas, dan reptil. Ada juga kegiatan makan-makan bersama.

Rencananya pada kesempatan itu akan digelar menggambar bersama, namun mengingat semakin padatnya pengunjung, maka kegiatan tersebut urung dilakukan. Kegiatan menggambar akhirnya dilakukan di tempat saungelmu di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Melihat Gajah menjadi terasa istimewa buat anak-anak saungelmu Melihat Gajah menjadi terasa istimewa buat anak-anak saungelmu


"Kegiatan ini juga untuk menyambut bulan Ramadan," kata Mamih Agil, pengurus Planet Satwa kepada TNOL.

Menurutnya, tujuan kegiatan yang digelar Planet Satwa adalah untuk mengenalkan satwa kepada anak-anak saungelmu. Oleh karena itu, usai mengunjungi berbagai satwa di TMR, anak didik saungelmu diberikan pertanyaan seputar satwa yang sudah dilihat.

"Yang bisa jawab dapat hadiah berupa pensil warna dan buku mewarnai," jelas Mamih Agil.

Ia menegaskan, pemberian hadiah selain sebagai hiburan, juga untuk merangsang pengetahuan anak-anak didik saungelmu tentang satwa. Yang terpenting, anak-anak paham dan mengerti yang diajarkan langsung terhadap apa yang dilihatnya.

"Ketika usai makan sampah sisa nasi bungkus juga dikumpulkan, dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dibawa supaya nanti kalau ada tempat sampah di buang di sana," paparnya.

Mamih mengakui, dalam kegiatan tersebut cukup melelahkan. Apalagi anak-anak didik juga dilarang jajan sembarangan. Hal itu dilakukan karena banyak kandungan yang tidak jelas dalam makanan yang dijajakan secara sembarangan.

"Maksudnya kalau jajan sembarangan nanti sakit," jelas Mamih sembari tersenyum gembira.(Sbh)

Wajah-wajah ceria anak-anak saungelmuWajah-wajah ceria anak-anak saungelmuFoto dulu ya...!Foto dulu ya...!

Pudak seruni batal makan kodok…

Jadi, tidak semua mulut ular itu besar dan tidak semua ular bisa makan apa saja. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Katanya ular bisa menelan mangsa dengan ukuran tubuh yang lebih besar dari pada mulutnya. Namun sebenarnya seperti apa besar mangsa yang bisa masuk kedalam mulutnya? Ada contoh yang sangat kebetulan sekali. Seekor ular pudak seruni yang berbisa (Rhabdophis subminiatus) dipergoki batal makan kodok meski pun kodok itu sudah digigit. Berikut beberapa foto kejadiannya.
Masuk ke celah batu P1680221 aresPertama terlihat sepertinya si ular ini sulit masuk kedalam celah batu. Lalu setelah ditunggu beberapa saat, muncul kodok dari celah batu itu. Rupanya ular mengejar kodok kedalam celah batu.
kodok yang digigit waduh gigitnya tidak lepas
ouch!
Kodok yang muncul dari celah batu yang dikejar oleh si ular. Kodoknya cukup besar untuk si ular.
kodok dilepas ular
ular yang meninggalkan kodok
Setelah bergulat cukup lama dengan kodok, si ular melepaskan kodok mangsanya dan pergi meninggalkan si kodok begitu saja. Mungkin karena si kodok berukuran terlalu besar untuk mulut ular, atau karena hal lain. Diperkirakan si kodok tidak akan selamat setelah digigit ular pudak seruni yang berbisa. Bisa ular ini cukup berbahaya bagi manusia namun demikian taring ular ini terletak di belakang bagian mulutnya sehingga dia harus berkali-kali menggigit atau menahan gigitannya untuk mengeluarkan bisa. Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada tahun 2012, ular pudak seruni digolongkan kedalam least concern (dikhawatirkan punah).

(sumber: http://www.planetsatwa.com/?p=287)

Tuesday, April 30, 2013

Happy English, Deric dan Planet Satwa Edukasi Soal Binatang


Happy English, Deric dan Planet Satwa Edukasi Soal Binatang

Written by Safari Sidakaton

Sunday, 31 July 2011

Mereka berkoloborasi demi mengedukasi anak-anak dan masyarakat tentang pentingnya hewan dalam kehidupan manusia...

Edukasi soal binatang kepada anak-anak/ Foto-foto: Dok. Juang SiahaanEdukasi soal binatang kepada anak-anak/ Foto-foto: Dok. Juang Siahaan
Saat ini, kehidupan binatang sebagai penyeimbang kehidupan manusia masih banyak yang diabaikan. Banyak binatang yang dianiaya dan dibunuh karena dianggap mengganggu kelangsungan hidup manusia. Padahal, dengan tidak eksisnya kehidupan binatang akan sangat berpengaruh terhadap manusia.
Mengingat pentingnya binatang untuk kelangsungan hidup banyak orang, maka Happy English, Planet Satwa dan Deric Education menggelar program edukasi mengenai perlakuan terhadap satwa di Kolong Jembatan Tol Penjaringan, Jl. Rawa Bebek Selatan RW 10, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (24/7).
Binatang diperkenalkanBinatang diperkenalkanSesuai rencana acara tersebut akan berlangsung di Kolong Jembatan Tol Penjaringan RW 13. Namun, karena pengusiran dari sejumlah oknum akhirnya dipindahkan ke RW 10.
Kepindahan lokasi ternyata tidak membuat peserta berkurang. Bahkan peserta semakin antusias ketika ditunjukkan beragam binatang seperti ular, anjing, kadal, kura-kura dan burung.

Dok.Dok.

Acara bertajukKenali dan Lindungi Satwaini menghadirkan bintang tamu presenter acara televisi Jejak Petualang Survival, Tyo Jp. Adapun materi yang disampaikan adalah pengenalan secara langsung dengan satwa disekitar kehidupan manusia (biawak, burung, kadal, kura-kura), penanganan apabila ada ular masuk ke dalam rumah (dengan gambar dan praktek) dan pengobatan P3K dengan herbal.
Foto di kolong jembatan..Foto di kolong jembatan..Nancy P. Martawardaja, Humas Happy English mengatakan, digelarnya edukasi tentang binatang karena saat ini banyak orang yang tega membunuh ular yang masuk ke rumah dengan alasan takut digigit. Padahal, belum tentu ular tersebut berbisa karena saat ini banyak juga ular yang justru tidak berbisa.
“Masuknya ular ke rumah juga karena beberapa faktor. Faktor utama adalah tersedianya makanan si ular di dalam rumah tersebut,” jelasnya.
Selain membunuh ular,  sambung  Nancy,  banyak juga orang yang tega membuang anak kucing, menimpuk anjing, menembak burung atau kalong hanya sebagai kesenangan semata. Belum lagi masalah monyet yang dipekerjakan sebagai pengemis.
Happy English adalah semacam kursus yang diadakan oleh para relawan. Anak-anak itu berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka belajar di kolong jembatan tol Gedong Panjang 1, Penjaringan Jakarta Utara. Yang disebut kelas adalah terpal yang digelar. Jika dikatakan tidak boleh keluar kelas berarti tidak boleh keluar dari terpal. Mereka belajar setiap dua minggu sekali yaitu setiap hari Minggu pagi.

Edukasi..Edukasi..Selama ini mereka belum mendapatkan bantuan dari dinas sosial atau badan lain yang terkait. Untuk penunjang belajar anak-anak, Happy English mengundang Planet Satwa untuk memberikan edukasi tentang hewan secara sukarela karena mereka tidak sanggup untuk membayar.
Selain belajar mereka juga ada kegiatan seni seperti operet dan lenong. Dari menjual tiket itulah mereka mendapatkan dana operasional karena selama ini mereka belum mendapatkan bantuan dari dinas sosial atau badan lain yang terkait. Dalam kesempatan ini Planet Satwa dan Deric Education dengan sukarela mencarikan donatur dan sponsor untuk Happy English. (Sbh)

Happy English di Planet Satwa






Seruas jalan beraspal kasar dan berlubang di kawasan Gedong Panjang, Penjaringan, Jakarta Utara, itu tak henti mengepulkan debu. Sengat mentari begitu terik. Atap pos ronda, pagar, dan pohonan berpupur debu. Di satu sudut kolong jembatan yang pengap dan sumpek, kerumunan orang yang mayoritas anak-anak duduk lesehan. Lainnya berdiri berdesakan.

“Siapa yang mau pegang ulaaar..!,” Bintang Dwi Nugroho Respati separuh berteriak melalui corong megaphone di tangannya.
Sayaa..! Sayaa…!” Sejumlah bocah usia SD itu pun merangsek maju.

Teguh Prasetyo Budi yang siang itu memegang seekor Boiga dendrophillasepanjang hampir dua meter, hanya senyum-senyum begitu jari-jari mungil para bocah mulai meraba tubuh ular berbisa menengah yang juga dikenal sebagai ular cincin emas itu. Wajah kanak-kanak yang riang.

Ya, Ahad (24/7) lalu menjadi hari yang cukup istimewa bagi tak kurang dua ratusan anak yang mayoritas tinggal di sekitar jalan tol Gedongpanjang, Penjaringan, Jakarta-Utara. Orang tua mereka berasal dari beragam latar belakang sosial ekonomi. Buruh serabutan, pedagang kecil, dan sebagainya.

Selain materi pengenalan satwa liar dari spesies mamalia yang disampaikan oleh Mbak Imenk dari Planet Satwa, rekan-rekan pecinta reptil depok yang tergabung dalam Deric Education, berperan besar dalam acara yang juga dihadiri host serial“Jejak Petualang” (TV 7), Herna Tyo. Tyo bahkan tak segan turun tangan membantu menyiapkan property dan alat peraga berupa aneka reptile dan satwa koleksi Deric Education maupun pribadi. Beruntung, acara hari itu juga kian ramai oleh dukungan sumbangan ratusan botol sirup dari kolega Happy English serta dari PT. Unilever berupa sampo, sabun, hingga deodoran. Tak ketinggalan majalah Flona dengan sumbangan berupa puluhan eksemplar majalah yang temanya relevan dengan materi edukasi hari itu.

Nah.., jadi kita tak perlu membunuhnya. Kita bisa menggunakan alat-alat sederhana seperti ini untuk mengusir ataupun mengendalikan ular yang masuk rumah,” terang Abas Nyak Agil Mamih sembari meraih sapu dan pengki. Dibantu Teguh Prasetyo Budi yang juga sesepuh Deric Education serta Roy, Averoes Oktaliza, Arby, Muhammad Nurwanta, dan pegiat Deric Education lainnya, bergantian materi penanganan ular dipaparkan di hadapan anak-anak yang sangat antusias itu.Empok-empok yang berdiri di belakang anak-anak tak kalah antusias. Sesekali mereka menutup mulut sembari mata mendelik melihat tangan seorang relawan Planet Satwa sengaja digigitkan pada seekor ular guna rekonstruksi penanganan gigitan ular. Aiiihhh..!

“Siapa yang mau digigiit..!,” seorang relawan berteriak. “Saiyyyyaaaaa….!,” beberapa anak maju ke depan dengan gagah berani. Giliran relawan Planet Satwa sejenak mati kutu. Hehe…dasar bocah.

“Mengenal dan mencintai satwa harus dimulai sejak dini. Ini yang ingin ditanamkan pada anak-anak Happy English, sebuah kelas bahasa inggris di kolong tol Penjaringan, Jakarta Utara, bersama dengan komunitas Planet Satwa,” papar relawan humas Happy English Nancy P. Martawardaja yang akrab dipanggil Ecy dalam rilisnya (26/7) terkait program edukasi bertajuk “Happy English Juga Sahabat Satwa".

Ecy mengimbuhkan, seringkali manusia tidak menyadari bahwa satwa berperan sebagai penyeimbang kehidupan. “Tidak ada suatu ciptaan apapun yang diciptakan oleh Tuhan tanpa maksud, oleh karena itu kami ingin anak-anak Happy English mencintai dan memperlakukan satwa dengan baik serta tidak melakukan penyiksaan”.

Anak - anak yang mengikuti program edukasi ini merupakan siswa Happy English yang biasa belajar di kolong tol Penjaringan. Anak - anak tersebut bukanlah anak anak jalanan, pengemis ataupun pengamen. Mereka bersekolah dan memiliki orang tua yang bekerja sebagai buruh ataupun pedagang kecil. Dalam keterbatasan fasilitas dan lokasi belajar, sedikitpun semangat mereka tak redup kala mengikuti kelas yang diadakan para relawan.

Kelas Happy English diadakan sebulan dua kali dengan tempat belajar berlantai semen beralaskan terpal. “Kami dari Happy English memiliki visi yang sama dengan Planet Satwa dalam memperlakukan satwa, kami ingin anak – anak mencintai dan menjadikan satwa sebagai sahabat mereka. Oleh karena itu, kami senang sekali bisa mendapat edukasi langsung dari teman – teman Planet Satwa, yang memiliki pengetahuan mumpuni tentang satwa “ terang Ecy.

Harapan Ecy dan kawan-kawan Happy English terkait tradisi memperlakuan satwa secara layak patut didukung. Pasalnya, untuk satwa liar, misalnya, tak sedikit dari anak-anak itu yang belum mengenalnya lebih dekat.

“Kamu pernah ketemu ular?,” tanya saya pada seorang peserta bernama Sadam (9). Bocah bertubuh gemuk itu hanya tersenyum sembari memainkan buku tulisnya. Tiba-tiba matanya berbinar. “Pernah!,” Sadam tersenyum.
“Ular apa?,” Saya menyelidik.
“Ular kobra!,” jawabnya mantap sembari menuding seekor ular kobra dalam boks kaca milik relawan Planet Satwa yang siang itu menjadi salah satu materi edukasi.
Oohoh, itu tho...

Menurut Abas Nyak Agil Mamih, inisiator Planet Satwa, selama ini pemahaman publik terkait satwa liar masih sangat kurang. Bahkan untuk hal-hal yang mendasar. “Dampak paling umum adalah munculnya persepsi keliru tentang satwa. Berikutnya, muncul tindakan atau perlakuan yang juga tidak tepat terhadap satwa liar yang masuk ke habitat manusia,” papar Agil dalam satu kesempatan. Karena itu edukasi dasar terkait satwa liar maupun domestik perlu diberikan sejak dini.

Agil, mantan pramugari maskapai penerbangan Garuda yang juga pengasuh satwa telantar, itu lantas mencontohkan tindakan kebanyakan orang saat mendapati ular masuk perkampungan. “Biasanya langsung dibunuh tanpa berpikir panjang kenapa sampai ular masuk rumah penduduk,” ujarnya prihatin. Biar begitu, Agil tak sepenuhnya menyalahkan tindakan warga mengingat tak semua orang paham dan mampu mengatasi ular atau satwa liar yang nylonong ke rumah penduduk.

Itu pula yang melatari Agil dan rekan-rekannya menggagas Planet Satwa, belum lama ini. Tercatat sejumlah kalangan pemerhati dan penyayang reptil, mamalia, unggas, dan banyak lagi, mendukung inisiasi Planet Satwa yang saat ini bermarkas di kediaman Agil di kawasan Rawajati Timur III/1, Jakarta. Planet Satwa mengakomodasi siapapun yang memiliki kepedulian terhadap satwa tanpa memandang latarbelakang organisasi setiap indvidu yang telibat. Serta bersama-sama mengedukasi dan memberikan advokasi publik terkait paradigma yang tidak tepat dalam penanganan satwa liar maupun domestik.

(credit photos : Happy English)

Dari Romulus Whitaker sampai Mbok Mintorogo (catatan atas ToT Sioux)



Ass. Pakabare, Mas? Depok udan gak..?
Selarik pesan pendek mampir ke telepon genggam saya, persis ketika hujan mulai menderas dan pekik guntur bersahutan.
“...Udan deress…gludug menggelegarr…,” balas saya.
Wakakakak…Bintaro juga sama, Mas! Klo begini terus sampe malam. Bisa2 br sampe gintung besok pagi..” balas Abdul Basith, arek Jombang yang sabtu dan ahad ( 2 – 3/10) lalu, sama-sama berniat menghadiri training of trainer (ToT) Sioux.

Lembaga Studi Ular ini memfasilitasi para relawan (muscle Sioux) yang berniat up grading kemampuan mereka dalam belajar menangani ular. Itu setelah sebelumnya mereka diikutkan dalam basic training muscle (BTM). Terakhir, saya ikut BTM sekitar enam bulan silam.

***

08.20 pagi (3/10), langit Situ Gintung bersaput mendung.
Sejumlah lelaki, anak-anak, dan perempuan dewasa berbalut sari tampak terpekik tertahan ketika laki-laki tua itu mulai memainkan tongkatnya. Bersama seorang asisten, laki-laki berambut tak bersisir berjanggut putih itu tengah berusaha menyergap seekor King Cobra (Ophiophagus hannah) yang merayap di tepian bukit curam yang dirimbuni pepohonan.

Kepala dan nyaris sepertiga bagian tubuh Si Raja Kobra mendongak tegang ketika Pak Tua mulai mendekat. “Sepertinya ini betina, panjangnya mungkin 15 kaki,” terangnya dengan seulas senyum tanpa menampakkan gentar sedikitpun. “Tongkat penjepit ini sepertinya tak efektif, ia masih bisa lolos. Kami tak ingin tergigit,” sambung Pak Tua sembari mesem.

Nun beberapa belas meter di atas jalan raya yang membelah bukit, perempuan-perempuan yang meyaksikan adegan itu terlihat mulai tegang. Sebagian menutup mulut atau menggigiti kuku jari. “Aiiih…”

Saya berandai, Pak Tua sejatinya punya pilihan cepat untuk meringkus Raja Kobra yang telah bikin panik orang lewat itu. Tapi Ia memilih cara yang lebih nyeni. Ular dengan bisa ekstra maut itu mula-mula digiring ke sudut-sudut sempit yang terhalang pepohonan. Sebuah pipa berdiameter 25 senti dan panjang sekitar 30 senti yang pangkalnya dikerudung kantung kain, disiapkan sang asisten.

Si Raja digiring mendekati lubang pipa. Gagal! Sosok gemulai itu dengan gesit menghindar ke celah pepohonan. Pak Tua tak menyerah. “Kita cegat dari sana! Yousiapkan pipanya..!,” Pak Tua mengingatkan asistennya. Dengan bantuan tongkat penjepit, Pak Tua mulai merangsek mendekati Si Raja. Butuh tiga hingga empat kali penyergapan yang menegangkan sebelum,…hups! Kepala Si Raja masuk ke liang pipa. Dengan sedikit dorongan tongkat, seluruh tubuh Si Kobra sukses diringkus tanpa terluka dan tak seorang pun yang tergigit.

Huraahh..!” Tepuk tangan terdengar dari atas sana. Pak Tua dan asistennya dengan tenang naik ke jalan raya dengan senyum kemenangan. Adegan itu disudahi dengan wajah-wajah semringah. Pak Tua dan asistennya beroleh aplaus panjang, jabatan tangan dan pelukan hangat. Adapun Si Raja, mungkin senewen sebab gagal lolos dari sergapan densus, eh Pak Tua..

Pagi itu, saya saksikan adegan di atas dari tayangan video yang direfleksikan melalui sebuah proyektor di ruangan wisma berukuran 3m X 7m di satu sudut Taman Wisata Situ Gintung, Tangerang. Bersama saya, hampir dua lusin orang duduk lesehan di atas karpet.

Pak Tua yang pemberani lagi nyentrik itu adalah Romulus Whitaker (67 tahun), herpetolog dan konservationis kehidupan alam liar. Tampang Romulus mengingatkan saya pada pelukis surealis kenamaan Salvador Dalli. Bedanya, Romulus “melukis” di alam liar dengan mendirikan Madras Snake Parks dan direktur The Andaman and Nicobar Environment Trust (ANET). Ia juga pendiri the Madras Crocodile Bank Trust. Semuanya di negeri Nehru.

Keahlian Romulus mengingatkan saya pada almarhum Steve Irwin yang beken dengan serial televisi The Crocodile Hunter (“Sang Pemburu Buaya”), sebuah dokumentasi mengenai hewan-hewan buas yang tak umum. Si bengal Irwin memiliki dan mengelola Australia Zoo di Beerwah, Queensland.

Pagi itu cuaca mendung ketika saya sampai di Situ Gintung, bersamaan dengan diputarnya video aksi Romulus menangkap dan meneliti karakter Raja Kobra. Itu adalah hari kedua acara training of trainer (ToT) yang diadakan Sioux. Saya memilih absen di hari pertama karena enggan mengambil resiko cuaca buruk msaat enuju lokasi. Lagipula saya masih sedikit flu.

**

Suara Aji Rachmat naik turun, beradu dengan alunan musik organ tunggal yang disewa sebuah paguyupan organisasi kedaerahan. Jarak antara wisma tempat ToT berlangsung dan aula tempat organ tunggal tak sampai 20 meter. Alhasil, suaranya benar-benar memekakkan kuping. Tahu audiens mulai terganggu, sesekali Aji mencoba rileks dengan menggoyang-goyangkan kepala di sela jeda presentasi.

Mungkin, satu dari tiga biduan berkostum seronok di aula tengah menembangkan “Kucing Garong” atau “Keong Racun”. Konsentrasi saya agak terpecah. “Sst, wah, stoking nya bolong-bolong,” Kresno dan Denny, peserta ToT, terkikik. Tak tahan untuk tak menggosipi biduan yang berjongkok seronok sembari menelepon. Millani Imenk, sesekali belagak goyang dengan mata setengah merem.

**

Hari itu materi pelatihan meliputi identifikasi ular, biologi ular, penanganan gigitan ular, hingga pengantar handling ular. Sebagian materi sudah saya dapat ketika BTM, Maret silam.

Saya sejenak terkesiap ketika proyektor slide menayangkan sebuah essei foto. Sebut saja kisah Mbok Mintorogo. Ini adalah mozaik kultur kompleks “industri” rumahan pengolahan ular, yang relatif jarang terekspose.

Mula-mula, tampak tangan keriput Mbok Mintorogo membuka ikatan sebuah karung berisi setidaknya belasan ekor kobra hidup. Dengan enteng, satu tangannya mencengkeram tubuh seekor kobra layaknya memegang anak kucing yang masih ingusan. Dalam hitungan detik, diguntingnya leher si kobra sampai putus. Dengan gerakan akrobatik, darah yang mengucur dari leher kobra dituang dalam gelas. Tangan Si Mbok yang satunya lagi menjungkirkan bagian ekor kobra ke atas. Posisi ini mencoba memanfaatkan gaya gravitasi untuk mempercepat keluarnya aliran darah.

Hmm, adegan ini sekilas mengingatkan saya pada aksi penjual legen (air sadapan pohon aren) pikulan, yang menuangkan tabung bambu berisi legen ke gelas pembeli.

“Dari informasi dan pengalaman yang ada, menelan empedu kobra adalah salah satu cara untuk meningkatkan stamina,” ujar Aji. Peserta ToT manggut-manggut. “Lahemang komposisi empedu cobra apa, tho?, kok sampai bisa bikin “greng” stamina begitu? ” saya menukas. Pikiran saya sejenak mengawang pada efek ekstra ajaib ramuan yang diracik Dukun Panoramik dari Negeri Galia dalam Lakon Komik Asterix, besutan Uderzo dan Goschiny.

“ Hmm, sampai sekarang memang belum ada yang secara khusus meneliti kompisisi empedu cobra. Tapi pemanfaatannya memang sudah dipraktekkan dan diakui berbagai kalangan sejak lama,” jawab Aji.

Perkara ramuan, hingga saat ini, saya tak berhasrat untuk mengkonsumsi bagian tubuh manapun dari si kobra. Terlebih dikaitkan dengan upaya mendongkrak prana “greng” di tubuh saya. Saya tak malu memilih berpandangan konservatif dengan semboyan uzur yang saya comot dan plesetkan dari petuah Eropa beheula : "Di dalam tubuh dan jiwa yang sehat, terdapat “greng” yang dahsyat!". Eeng…iingg…eenggg…

“Lain lagi dengan darah kobra. Ini dipercaya untuk menghaluskan kulit,” imbuh Aji.Hmm… Saya melirik Dhyan Savitri, rekan peserta yang duduk persis di samping saya. Dhyan cuma mesem sembari menggeser posisi duduknya. Entah, merasa skeptis karena kulitnya merasa sudah mulus, atau malah diam-diam tergiur pingin mencicip darah cobra biar kulit jadi berpendar seperti kunang-kunang di hari gelap.

Saya gamang, apakah saya juga akan memberi tahu Melly Chan, istri saya, terkait khasiat darah kobra itu. Tapi, Melly yang lahir dan besar di Palembang punya versi sendiri. “Mau kulit halus? Makan duren!,” ujarnya singkat sambil ngeloyor ke dapur.

Saya cukup sering ke Palembang untuk berbagai keperluan. Jika diamati, rata-rata kulit gadis-gadisnya memang terang dan bersih.

Di beberapa kawasan penghasil durian di Thailand juga konon begitu. Gadis-gadis Chiangmay contohnya, terkenal berkulit halus dan menarik. Sayang, saya tak punya kenalan khusus awewe Chiangmay untuk sekadar konfirmasi.

“Bisa jadi, justru untuk meningkatkan stamina bukan empedunya, tapi daging kobranya,” sergah Mamih Agil, peserta ToT senior yang berlatar kedokteran Hewan. Mamih tak asal cuap. Yang saya tahu, daging kobra memang kaya protein, jadi relevan juga jika mengaitkannya dengan gizi tinggi.

Oho, kalo Mas Prio kepengin staminanya oke saat kerja keras atau masa pemulihan, asupan protein perlu didongkrak, yah!,” ujar dokter Boyke A. Nugraha dengan gayanya yang khas. Boyke, seksolog beken ini sempat saya temui seusai menjadi pembicara pada sebuah seminar, di Jakarta, Agustus Silam. Merujuk Boyke, Saya pikir Mamih masuk akal juga.

Pesan moralnya, tak perlu menjagal kobra untuk mendapatkan asupan protein ekstra.

**

Menjelang siang, acara yang cukup ditunggu akhirnya dimulai juga : praktekhandling ular. Peserta dikenalkan pada teknik-teknik handling beragam jenis ular di alam terbuka. Beberapa ular koleksi Sioux dikeluarkan dari kandangnya. Mulai dari yang tak berbisa macam phyton, ular pelangi, ular tikus, hingga yang berbisa tinggi macam kobra dan king kobra.

Sayang, belum tuntas sesi handling dipraktekkan, kawasan Situgintung keburu dihumbalang angin rebut. Ranting-ranting dan dahan beberapa pohon berderak dan patah. Sejurus kemudian hujan lebat datang. Ular-ular kembali dikandangkan. Peserta dan panitia kembali memasuki wisma dengan hati separuh dongkol. Termasuk Anissa Sarah Ichachebong, yang siang itu baru bisa meraih buntut seekor kobra.

Menghemat waktu, acara disambung dengan simulasi identifikasi ular di hadapan audiens. Saya kebagian mengidentifikasi Phyton reticulatus. Bicara phyton, saya punya “ikatan emosional” dengan mahluk berkulit cantik ini. Cantik, motif “batik” natural nya tak ada yang menyamai. Dijamin tak ditemukan jika anda putar-putar sampai pusing di sentra batik Pasar Klewer, Solo. Ataupun jika anda ngotot memburunya sampai dehidrasi dan semaput di los pasar Beringharjo, Jogja.

Phyton sepanjang tiga meter pernah masuk rumah saya tanpa permisi, lebih dari lima tahun silam. Kepalanya nyungsep ke toilet. Berakhir dengan dijebolnya kloset untuk meringkus phyton yang belum diajari sopan santun itu. Phyton berkalung kloset. Cerita lengkapnya bisa disimak di blog ini juga (“Bermain Api Gosong, Bermain Ular…Sioux!”). Gratis.

Yang terbilang agak menyeramkan adalah tatkala menyimak sesi penanganan gigitan ular. “Jika bagian jempol anda yang tergigit ular berbisa tinggi, segera tekan bagian ini,” Aji mencontohkan. Abdul Basith dijadikan contoh Korban. "Segera balut lengan mulai dari pergelangan hingga mendekati bisep untuk menghidari bisa ular menjalar.,” imbuhnya. “Darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Aji lantas memberi ilustrasi bagaimana mengeluarkan darah itu dengan cara menusuk-nusuk bagian lengan dengan benda tajam, diikuti dengan gerakan mengurut lengan untuk mengeluarkan darah. “Keluarkan darah sebanyak mungkin. Dan untuk menghidanri darah menggumpal, bagian lengan bisa dihangatkan dengan air hangat”.

Saya agak sulit membayangkannya simulasi ini terjadi di kehidupan riil. Ini mengingatkan saya pada adegan John Rambo mengoperasi sendiri pinggangnya yang tertembus ranting pohon . Atau Robert de Niro yang mengoperasi pengeluaran peluru dari tubuhnya sendiri dalam “The Ronin”. Fiktif saja ngeri, apalagi nyata. "Racun" Hollywood saja ngeri, apalagi racun king kobra. Ampuuun…

“Rekan-rekan senior di Yogya yang pernah digigit King Cobra, setelahnya tak mau lagi mengalami untuk yang kedua kali”.

**

“Hebat, baru saja dapat materi pelatihan, langsung praktek,” ujar Ischya ul Ulum, Ketua Sioux sembari mengajak peserta bertepuk tangan. Saya masih ragu pada komentarnya, serius atau guyon. Tapi saya memilih ikut tepuk tangan.
“Insiden” itu terjadi pada sore menjelang acara resmi berakhir. Dimotori oleh Mamih Agil dan Winniarlita Irmawatie atau akrab disapa kak Owien, keduanya mengajak peserta ToT untuk keluar ruangan dan mendatangi aula tempat paguyuban warga Pati se Jabotabek yang tengah menghela goyang dombret. Respons yang gamang. Sejumlah penghuni ruangan memilih berdiam di tempat. Tapi saya dan beberapa rekan memutuskan ikut. Saya ingin melihat cara eksponen Sioux berinteraksi dengan obyek persuasi dan melihat langsung respons audiens. Insidental sekalipun.

“Bapak-bapak, Ibu, dan adik-adik, ada yang pernah menemukan ular?,” tanya Owien di atas panggung.
“Beloom!,” suara dari bibir mungil bocah-bocah di barisan terdepan menggema dominan. Beberapa peserta pelatihan ToT ikut maju, praktek presentasi identifikasi ular.

“Ini namanya ular Lanang Sapi,” terang Krisno sembari mengangkat seekor Elaphe radiata yang dominan dengan warna kuning muda pada bagian depan dan perut. Empat garis longitudinal warna hitam menghiasi depan tubuhnya. “Ini tak berbisa…” imbuh Krisno mencoba tersenyum.

Wah, ono ulo sing jenenge sapi, tho?,” suara berbisik saya tangkap dari mulut seorang bapak persis di samping kiri saya. Bapak ini gumun, ada ular yang namanya sapi. “Macan juga ada, Pak. Malah bandot(an)pula,” saya menyergah. Tentu dalam hati. Saya ingin memberi tahu dia bahwa ada ular bernama lokal bandotan macan.

Berturut kemudian Abdul Basith, Adjie, Bintang, dan Denny Rudini mengenalkan dagangan, eh, ular koleksi Sioux yang mereka bawa.

Sauasana sedikit mencekam ketika Yulia Qim Deebraska mulai mengeluarkan kantung berisi King Kobra. Sepertinya Qim berencana mempraktekkan “death kissing” dengan mencium kepala King Kobra, meskipun belakangan urung dilakukan. Ichsya mengawasi adegan itu dari jarak beberapa langkah sebelum akhirnya memutuskan menghandling Sang Raja dengan tangan kosong. Memasukkannya ke dalam kantung. Millani Imenk pilih asyik menjepretkan kamera.

Bergantian, Mamih Agil dan Owien bertutur tentang Sioux. Presentasi dadakan tak lebih dari limabelas menit itu diakhiri dengan semboyan maut Sioux, “waspadai, tapi jangan bunuh ular.!.” Tepuk tangan terdengar ketika personel Sioux meninggalkan panggung.

**

Di akhir acara, sejumlah peserta ToT mendapat sertifikat. Hati kecil ini agak gamang juga. Ibarat menerima raport yang tak semua mata pelajarannya dikuasai. “Ini sebagai stimulus agar kita mau terus belajar,” papar Idur Rahadian.

**

Acara ini memang masih menyisakan celah untuk bisa disebut komprehensif. Tak ada evaluasi kegiatan secara menyeluruh, tempat semua yang hadir bisa mengutarakan kesan dan pendapat. Kritik dan otokritik.

Benar saja, setiba di rumah, hingga menjelang tengah malam, beberapa diskusi “ekstraparlementer” bersliweran di kolom chatting facebook saya.

Salah satu topik diskusi adalah terkait pemberian sertifikat. “Bagusnya up gradingdilakukan bertahap, diuji kemampuannya terus menerus dan tak langsung diberi sertifikat,” ujar seorang rekan yang namanya enggan dikutip di blog ini. “Materi training yang diberikan perlu ditetapkan kriteriumnya dan level penguasaannya, ini untuk membantu mengukur penguasaan materi tiap-tiap muscle peserta ToT ,” ujar seorang muscle lainnya. Benar juga, batin saya.

Hari itu saya memang tak sempat melakukan simulasi secara resiprokal dengan rekan peserta. Tentang bagaimana cara membuat balutan di area gigitan ular yang benar, simulasi pembedahan darurat jaringan tubuh dan mengurut keluar darah korban yang terkontaminasi bisa ular berbisa. Atau sekadar praktek mencuci luka gigitan ular tak berbisa dengan air bersih dan antiseptik.

Praktek-praktek kecil macam itu niscaya menghadirkan trial and error yang bakal mempengaruhi sikap mental peserta jika berhadapan dengan kasus empirik di lapangan. Saya sungguh merasa kosong.

**

Ya, sesi training hari kedua itu memang agak dominan dengan persuasi dan “monolog” Aji Rachmat. Biarpun dalam beberapa hal bobot materinya saya anggap memiliki kelebihan dibandingkan ketika saya mendapatkan materi yang identik pada BTM beberapa bulan silam. Beberapa informasi di luar materi training juga terbilang menarik.

**

Hmm, terus terang saya pribadi masih jauh dari memadai untuk jadi seorang trainer. Tapi saya mencoba berfikir positif dan tak lantas pongah. Bagaimanapun, kemampuan riil dan fakta pengalaman interaksi di lapangan (dengan ular dan habitatnya) lah yang kelak akan menabalkan kemampuan sejati masing-masingmuscle Sioux.

Siapapun yang berniat dan berhasrat melakukan advokasi publik terkait penanganan ular, ketika menghadapi kasus di lapangan, pertama-tama pastilah tak dengan menyorongkan sertifikat sebagai trainer. Partisipasi aktif dan kemampuan riilnya dalam mengatasi persoalan terkait ular, jauh lebih substantif.

Pula, tak itu bandotan macan, kadut, maupun kobra dan teman-temannya, tak menggigit orang dengan pertimbangan kepemilikan sertifikat.

Saya salut dengan rekan-rekan Sioux yang sudah lama berkiprah tanpa pamrih. Mengadvokasi publik pada bahaya laten kesalahkaprahan sebagian besar masyarakat kita dalam menangani ular. Etos ini layak dipertahankan, sekaligus diingatkan jika mulai menyeleweng dari misi awalnya. Kultur egalitarian dan sikap terbuka layak terus ditumbuhkan. Ee, siapa tahu figur-figur sekaliber Romulus Whitaker bisa lahir dari kepompong Sioux.

Juga, sembari berharap untuk bisa berbuat agar sosok-sosok macam Mbok Mintorogo mendapatkan alternatif sumber ekonomi yang lebih manusiawi sekaligus “ularwi”.

Dengan segala keterbatasannya, komentar-komentar terkait ToT yang masuk dalaminbox facebook saya dari sebagian muscle Sioux, anggaplah sebagai sebuah kegairahan. Kecintaan. Betapa mereka sayang dan berhasrat merawat komunitas yang sudah susah payah didirikan bertahun lamanya. Cukup memiliki nama dan diakui perannya. Tak ada ular yang tak retak, eh tak menggigit. Ibarat empedu ular, kritik itu pahit, tapi (konon) bikin “greng”.

Waktu yang terbatas, cuaca tak bersahabat, serta mayoritas peserta dan panitia yang kelelahan sehabis bergiat hingga dini hari sehari sebelumnya, mungkin juga mempengaruhi konsistensi panitia dalam menggarap ToT yang baru dihela untuk pertama kali. Wajar jika terlihat kurang komprehensif. Saya masih lebih enak, sebab baru datang ke Situgintung di hari kedua dengan kondisi fisik yang lebih bugar. Bisa jadi saya sedang bersemangat. Maklum lah, saya ini ular baru, eh.. muscle baru...


(http://prionowinarno.blogspot.com/2010/10/dari-romulus-whitaker-sampai-mbok.html)

“Cinta pada Gigitan Pertama…Aouuww..!”






“Uhh..! Aaww..!”
Aji Fajri meringis menahan ngilu ketika Aji Rachmat mengurut berulangkali telunjuk kirinya yang mulai membengkak. Sore itu, tak banyak darah yang bisa dikeluarkan. “Bengkaknya lokal saja, kok. Tak menjalar terlalu jauh. Biarkan sistem imun tubuh bekerja. Daya tahan tubuh kamu bagus! ,” ujar Aji sembari sesekali mencelupkan jari telunjuk Fajri dalam segelas air panas untuk menghindari darah membeku."Aww..aww..!"

Ya, darah Fajri harus dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Biarpun hanya “keserempet” taring seekor Naja naja sputatrix kurang dari satu jam sebelumnya, tetap saja tak bisa disepelekan. Selain menimbulkan luka kecil tak jauh di ruas pertama jari telunjuk, dua benjolan nyaris sebesar kelereng tampak menyembul di ruas jari pertama dan kedua telunjuk kiri Fajri. “Kamu harus perbanyak makan makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup,” Aji menambahkan.

Fajri beruntung. Jika saja bisa kobra terinjeksi maksimal ke aliran darahnya maka ceritanya akan lain. Tanpa penanganan yang tepat, gigitan seekor kobra bisa membunuh manusia dewasa tak sampai hitungan jam. Racun bisa seekor kobra menyerang darah dan sistem syaraf korbannya dalam sekali gigit.

**

Cuaca kawasan Situgintung, Ciputat, tangerang, cerah ketika Basic Training Muscle (BTM) Sioux, kembali dihelat untuk yang kedua kalinya tahun ini. “Ini BTM yang ke empat sejak 2008,” ujar Timmi Fibrin mencoba memastikan.

Seperti halnya BTM yang pernah saya ikuti, sekitar enam bulan sebelumnya, materi training dasar tak banyak berubah. Sekitar 17 peserta baru plus belasan muscleyang berniat up grading kemampuan, mendapatkan materi biologi ular, identifikasi ular, teknik handling ular, dan penanganan gigitan ular.

Dibandingkan dengan BTM yang digelar Maret silam, grouping dan rotasi sesi pelatihan terbilang efektif membantu peserta menyerap semua materi pelatihan. Materi Biologi Ular disampaikan Winniarlita Owien dan Ichsya ul Ulum. Dilengkapi Mamih Agil dan Aji Rachmat.

Bang Nandee yang mengisi sesi identifikasi ular, datang dari Bekasi berdua dengan “istri kedua” nya, seekor Raja Kobra (Opphiphagus hannah) yang dibuntel kain sarung. Entah, apakah selama perjalanan menuju Situgintung Si Raja bersin-bersin. Saya dan Rera jadi ikan remora yang memunguti remah-remah pengetahuan yang disebar Nandee. Dosen Bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan di Jakarta Timur, ini terlihat fasih mengurai klasifikasi beberapa spesies ular berikut jenis dan nama latinnya.

Mengenal klasifikasi ular serta berlatih identifikasi, memang penting. Dimensi ekologis juga masuk di dalamnya. Mulai dari habitat hidup hingga tipe aktifitas. Makanan dan cara berburu mangsa. Identifikasi fisik meliputi bentuk bentuk dan warna kulit hingga bentuk kepala dan tipe gigi (menentukan tingkat bisa).

Konflik-konflik antara manusia dengan ular, selama ini lebih dikarenakan kurangnya pemahaman manusia pada dunia ular dan karakternya. Dengan pemahaman yang memadai, kerugian yang ditimbulkan baik oleh manusia maupun ular akibat 'miskomunikasi', bisa diminimalkan. Ketakutan-ketakutan psikologis dan efek biologis dapat segera ditangani dengan benar.

Sebenarnya, sesi klasifikasi dan identifikasi ular bisa dikemas lebih menarik lagi. Saya punya pengalaman kecil yang bagi saya cukup berkesan terkait hal ini. Bukan ular memang, tapi klasifikasi dan identifikasi tumbuhan (plantae), ketika belajar anatomi tumbuhan di laboratorium biologi semasa kuliah, nun hampir 15 tahun silam.

Kala itu, setiap kelompok mahasiswa bertugas mengklasifikasi dan mengidentifikasi berbagai macam tumbuhan. Mulai dari anatomi fisik, morfologi, hingga perkembangbiakannya. Masing-masing anggota kelompok memegang buku laporan plus alat tulis.

Suatu kesempatan misalnya, dilakukan klasifikasi dan bedah anatomi tanaman singkong (Mannihot uttillisima). Dihadirkan organ-organ tanaman singkong di meja kerja. Preparat segar istilahnya. Berikutnya, masing-masing anggota kelompok menggambar sedetail mungkin anatomi salah satu bagian tanaman singkong itu serta dan diberi nama latinnya, di buku laporan masing-masing. Pada daun misalnya. Digambar mulai dari daun (folium), kemudian anak daun (foliolum), pertulangan, tangkai daun, dan seterusnya. Menyusul kemudian dibahas habitat, tipe perkembangbiakan hingga penyebaran. Perkara apakah umbi singkong nantinya lebih bagus dibikin getuk atau peuyeum, tak ada urusan.

Gambar tak harus bagus, tapi setidaknya mengandung komponen-komponen pokok yang harus diketahui ketika seseorang ingin mengklasifikasi bagian organ tumbuhan. Pengamatan visual, meraba, dan kemudian menggambarnya, niscaya akan mengaktifkan sekaligus motorik halus dan kasar dalam memahami preparat dan merekamnya dalam ingatan. Hasilnya, dengan metode itu, hingga belasan tahun kemudian, saya masih ingat rupa-rupa tumbuhan berikut klasifikasi dan morfologinya.

Mungkin ini bisa dicobakan pada sesi identifikasi dan klasifikasi ular. Anggota kelompok bisa mengamati dan mengambar sendiri fisik ular. Bentuk tubuh, tipe kepala, tipe gigi (dipandu instruktur), tipe dan rumus sisik! Dan seterusnya. Tak soal jika diktat atau buku-buku sudah menyediakan ilustrasi serupa. Ini soal proses. Bicara kendala teknis dari metode ini, bisa jadi soal manajemen waktu. Mengingat proses menggambar jelas lebih memakan waktu dibandingkan presentasi lisan.
Identifikasi ular, sekali lagi, merupakan entry point fase-fase pengenalan ular selajutnya.

Ibarat menaksir calon laki atau bini, pengenalan harus memadai agar tak timbul penyesalan di kemudian hari. “Melihat beberapa karakter ular, carilah suami yang bertipe kobra,” ujar Bang Nandee yakin. Hmm..

Entahlah, ini serius atau seloroh belaka. Kobra memang berbisa tinggi. So, patukannya maut. Dia agresif siang dan malam hari, pantang mengkeret menghadapi musuh.

Ah, mungkin ini soal selera. Masih tetap masuk akal jika tak sedikit perempuan yang lebih memilih laki-laki tipe sapi. Biarpun manut tapi royal mengucurkan susu, eh duit. Atau tipe gajah. Biarpun tambun dan terkesan alon-alon waton mlaku, dan malah disebut-sebut takut tikus, tapi teduh dan ngemong. Tapi jangan minta saya cerita soal belalainya. Bang Nandee mungkin lebih afdhol untuk menjelaskannya…

Lebih dari semua itu, saran saya yang sejak terlahir sudah laki-laki, janganlah memilih laki-laki tipe kutu atau tengu. Selain penakut dan inferior, gunanya apa coba?

**

“…Hari ini aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku... Membahayakan orang lain... Maaf yah buat org2 yang kecewa...”

Pesan itu muncul dari wall facebook Yulia Qim Deebraska, pada malam hari jauh ketika acara BTM tuntas. Hari itu, Qim membantu Nurdin Jabrik yang dikenal sebagai handler andal, dan beberapa instruktur Sioux lainnya, mendapat jatah mengawal sesi handling ular. Ini sesi yang sangat menarik, sekaligus berisiko tinggi. Harus didampingi instruktur berpengalaman. Butuh nyali lebih untuk belajar di sesi ini. Tentu, perlu sadar resikonya.

Pada BTM Maret silam, juga di sesi handling ular, tercatat lebih dari tiga orang yang tergigit ular. Dua atau tiga peserta lagi sengaja minta digigitkan ular untuk keperluan sesi penanganan gigitan ular. Dan semuanya melibatkan ular tak berbisa.

BTM kali ini memang sempat diwarnai insiden yang bikin cemas. Ya, pesan Qim itu salah satu responsnya. Bisa jadi ini ekspresi merasa turut bertanggung jawab, pula niscaya tak satu pun instruktur Sioux yang melakukan hal itu karena sebuah kesengajaan. Ini bisa jadi pelajaran yang sangat berharga.

Salah satu yang tergigit adalah Fajri, seperti diceritakan di awal tulisan ini. Lainnya, sebut saja, Mas Kumis, yang digigit seekor Phyton reticullatus sepanjang 3 meter saat hendak handling. Syukurlah, baik Fajri maupun Mas Kumis dapat ditanangani secara cepat dan tepat. Sehingga tak sampai berakibat fatal. Bisa jadi, gigitan itu mungkin akan menambah cinta pada satwa melata nan ekskotik ini. Cinta pada gigitan pertama.

Ya ampun kak, bukan salah lo kak. Saya yg malah gk enak bgt udah ngerepotin. Makasih bgt ya k...tq buat anak2 sioux..hihi..,” demikian Fajri menanggapi Qim.

Hingga lebih dari tiga jam setelah insiden itu, diam-diam saya terus mengamati Fajri. Selain jari telunjuknya yang masih bengkak, tak ada yang berubah dari penampilan fisik Fajri. Beberapa kali ia memang muntah-muntah ketika, Sioux dan sebagian peserta BTM berkumpul di rumah Nurdin Jabrik untuk evaluasi.. “Masih mual perutnya, “ terang fajri. Dua kaleng susu bear brand volume kecil dia tenggak.

Menjelang pukul delapan malam ketika saya bersiap pamit pulang. Fajri malah terlihat asyik mengganyang tiga tusuk sate ayam.

Jadi? Madjoe teroes!



(http://prionowinarno.blogspot.com/2010/10/cinta-pada-gigitan-pertamaaouuww.html)