Rumah Tetangga Di Depan Posko
Sebagai mahasiswa semester akhir, maka untuk melengkapi skripsi, kami diwajibkan untuk melakukan praktik lapang. Aku bersama 2 orang teman memutuskan untuk melakukan praktik lapang di sebuah peternakan sapi perah di suatu desa.
Tidak mudah mencari kamar atau rumah untuk kami sewa. Tetapi kami beruntung karena kepala desa Pak Adhitya memiliki bangunan gudang tidak terpakai yang bisa kami sewa. Lebih beruntung lagi karena biaya sewanya murah dan ibu kepala desa, Ibu Ajeng, meminjamkan kami peralatan dapur termasuk kompor.
Seharian itu kami membersihkan gudang, memasang instalasi lampu, membersihkan kamar mandi. Mengisi bak mandi dengan air yang kami pompa bergantian. Membetulkan atap yang bocor dan sekaligus memasang pintu kamar mandi yang jebol. Biar bagaimanapun, kamar mandi adalah hal yang sangat pribadi.
Setelah seharian bersih-bersih sampai sore menjelang maghrib, kami pun beristirahat di teras di depan pintu gudang yang sekarang kami sebut sebagai posko. Agus temanku membuat kopi dan kami pun membicarakan hal apa saja yang akan dilakukan keesokan hari di tempat sapi perah.
Saat kami mengobrol, Fauzi temanku yang satu lagi menunjuk ke sebuah rumah di seberang gudang kami. Kami pun melihat ke arah yang ditunjuknya. Dari tempat kami duduk-duduk, rumah itu lumayan terlihat jelas bentuknya meskipun sebenarnya jaraknya sekitar 200 meter. Hal ini menandakan bahwa rumah itu adalah bangunan yang sangat besar dengan jendela yang besar-besar pula serta halaman yang luas.
“Pasti yang punya rumah itu orang terpandang di desa ini” kata Fauzi sambil menyeruput kopinya.
“Belum tentu juga Ji” kata Agus sambil menyulut rokok.
“Iya juga sih, tetapi itu tetangga kita terdekat. Ya kan cuy?” tambah Fauzi
Yang dimaksud cuy adalah aku, Agil.
“Tetapi tetangga kita itu sepertinya tidak ada ditempat” kataku sambil mencoba memperjelas pandangan karena hari mulai gelap dan sepi.
“Makan yuk!” ajak Agus.
Ajakan itu tidak bisa ditolak karena kami memang sangat lapar. Nasi plus goreng telor plus kecap dan cabe rawit, cukup mengenyangkan kami malam itu. Setelah shalat isya, dengan cepat kami tertidur di tikar, berselimutkan kain sarung masing-masing.
Hari pertama yang melelahkan karena belum terbiasanya kami bekerja di peternakan sapi. Haji Ahmad, demikian nama pemilik peternakan sapi tempat kami melakukan praktik lapang. Beliau memiliki 200 ekor sapi perah yang tersebar di 4 tempat dan sebagian lagi dikelola oleh peternak rumahan. Dari seluruh sapi miliknya, beliau dapat menyekolahkan anaknya sampai keluar negeri dan sekaligus membantu penghasilan warga sekitar. Beliau merupakan peternak yang sukses. Secara umum, beliau orangnya baik.
Sudah sebulan kami melakukan praktik lapang. Kami pun semakin akrab dengan warga sekitar. Bahkan kami sempat memberikan pelajaran semacam kursus gratis kepada anak-anak desa. Dua bulan berlalu tanpa terasa. Beberapa ekor sapi mulai bunting dan itu merupakan kebanggaan bagi kami selain tentu saja pemilik peternakan, Haji Ahmad. Tinggal beberapa bulan lagi yang membuat kami semakin bersemangat bekerja, demi skripsi.
Suatu hari saat kami sedang melepas lelah di teras posko, aku melihat Fauzi menatap tajam ke rumah tetangga kami yang besar itu. Aku dan Agus pun mengikuti pandangannya.
“Kesana yuk!” ajak Fauzi tanpa melepaskan pandangan.
Aku menoleh pada Agus yang langsung berdiri dan melangkah ke arah rumah itu.
Akhirnya kami bertiga sampai di depan pagar rumah yang sudah rusak catnya. Pagar itu tidak tinggi, terbuat dari kayu jati yang kokoh. Tingginya mungkin sekitar 1 meter dan tidak terkunci. Halaman rumahnya luas tetapi sudah ditumbuhi alang-alang. Kami berdiri diam mengamati rumah besar itu. Bangunannya seperti benteng jaman kolonial yang kami lihat di internet atau di buku-buku sejarah. Cat putihnya sudah kusam dan beberapa tembok bangunan dan kusen jendela terlihat seperti terbakar hangus. Beberapa lapis plafon sudah lepas dan jatuh ke halaman di bawahnya. Pintunya terbuat dari kayu jati yang ukirannya baik tetapi sudah kusam pula. Jendelanya besar-besar berteralis besi dan beberapa kaca bahkan sudah bolong sehingga angin meniup apa yang kami sebut tirai yang terbuat dari kain lusuh. Kain itu sepertinya hanya sebagai penutup saja agar orang tidak langsung melihat kedalam rumah.
Terdengar bunyi kayu berderak saat Agus mendorong pintu pagar yang berat itu.
“Hati-hati Gus, nanti roboh” kataku.
Agus hanya diam dan mulai melangkah masuk yang segera kami ikuti.
“Pasti disini ada ular” jelas Fauzi sambil melirik padaku.
“Kebiasaan!” bisik Agus. Dan langkahnya terhenti. Agus memang agak takut pada ular sedangkan Fauzi justru senang ular.
Fauzi temanku itu memang penyayang hewan dan terutama jenis reptil. Beberapa ular hasil tangkapannya dia pelihara di rumah. Kegemarannya memang berburu ular untuk dilepaskan kembali ke tempat yang aman, dan dari situ dia mendapatkan julukan di kampus sebagai pawang ular.
Kami lalu menuju pintu rumah dan mengetuk sambil mengucapkan salam. Sepi dan hanya kami bertiga yang berdiri sambil melihat dinding rumah yang kusam. Tidak ada jawaban dan tidak terdengar suara apapun. Setelah 5 menit kami menunggu akhirnya kami putuskan pulang dan menganggap pemilik rumah sedang tidak ada di tempat. Aku berjalan paling belakang sementara Agus di depan dan Fauzi di tengah sambil tengok-tengok siapa tahu dia beruntung menemukan ular. Saat aku menutup kembali pintu pagar dan berbalik hendak kembali ke posko, entah mengapa aku merasa ada gerakan tirai di jendela atas. Tetapi aku pikir itu hanyalah angin. Malam itu Agus menggoreng tempe untuk makan malam dan setelah kenyang, kami lalu berdiskusi tentang sapi. Malam semakin larut dan kami bersiap untuk tidur. Rumah tetangga kami pun gelap gulita. Hanya diterangi cahaya bulan remang-remang dan angin yang meniup tirainya.
Keesokan hari kami membantu mengobati sapi yang sakit. Agus meracik obat sementara aku dan Fauzi membantu memberikan obat itu. Cukup sulit memberikan obat kepada sapi jantan yang besar. Haji Ahmad terlihat sangat gusar karena sapi jantan itu dia beli dengan harga cukup mahal. Dan setelah obat berhasil ditelan, kami dan Haji Ahmad pun lega. Sore itu kami pulang ke posko dengan membawa beberapa liter susu sapi murni.
Malam itu tidak ada yang kami bahas dan kami segera mengantuk. Mungkin karena lelah dan juga kenyang minum susu. Suasana sepi dan terdengar suara jangkrik dan sesekali tokek. Damai sekali suasana malam ini. Fauzi berkata akan ke rumah tetangga depan itu untuk mencari ular. Dia menyiapkan senter, karung dan sepatu but.
“Awas Ji, nanti lu disangka mencuri!” kata Agus sambil menguap.
“Kan cuma di halaman aja, lagian gak ada niat masuk rumah kok. Ikut gak lu?” tanya Fauzi kepadaku dari pintu.
“Males ah, mendingan ngorok” kataku sambil rebah di tikar.
“Salam buat yang punya rumah Ji!” kata Agus sambil senyum-senyum.
Fauzi tidak menjawab dan dia langsung menghilang.
Malam itu aku memikirkan perkataan Agus tentang salam buat yang punya rumah. Entah mengapa perkataan itu terus berada dalam pikiranku. Kulihat Agus sudah terlelap sambil sesekali terdengar suara ngoroknya dan garuk-garuk tangan meskipun sebenarnya tidak ada nyamuk. Lama-lama aku mulai mengantuk dan entah beberapa saat aku pun terlelap sampai sebuah tangan dingin menempel di pipiku. Kulihat Fauzi bersimpuh di sampingku membangunkan aku.
“Ji, kenapa?” kataku sambil berusaha menyesuaikan penglihatan di remang-remang cahaya lampu luar.
Aku bangkit ke sudut dan menyalakan lampu. Jujur aku cemas melihat Fauzi yang pucat dan lemas. Butiran keringat dingin terlihat di keningnya. Mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.
Aku berpikir jika Fauzi tergigit ular berbisa. Cepat kuraih tangannya dan kucari titik-titik gigitan ular.
“Lu kegigit Ji?” tanyaku sambil melihat tangannya.
Fauzi menggeleng tanpa melepaskan pandangan dariku.
“Enggak, bukan itu” kata Fauzi berbisik.
“Apa dong? Lu kenapa sih?”
“Ada hantu Gil…” katanya berbisik dan melirik Agus yang sepertinya mulai terbangun.
Aku bukan orang yang mudah percaya pada hal seperti itu. Hantu, jin setan, kuntilanak, gendruwo, wewe gombel, buatku hanyalah khayalan di buku cerita atau untuk menakuti anak nakal. Meskipun aku sering bertemu dengan mereka atau mengalami hal-hal gaib dengan yang kusebutkan itu, tetapi aku tidak pernah ambil pusing. Kami bertiga memang seperti itu, terlebih Agus yang kami anggap sebagai ustad kampus. Aku juga heran, kenapa Fauzi yang tidak takut akan hal-hal seperti itu tetapi sekarang dia benar-benar seperti melihat hantu. Pasti hantu itu sangat menakutkan baginya. Ya, pasti.
Agus akhirnya bangun dan berusaha menyelaraskan otaknya dengan kejadian yang dilihatnya sambil memicingkan mata karena silau.
“Kenapa Ji?” tanya Agus sambil masih berkedip-kedip.
“Gak apa, udah tidur lagi sana” kataku sambil berkedip pada Fauzi.
Fauzi terlihat ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dia mengerti. Percuma menerangkan hal berbau hantu pada jam 2.30 dini hari. Agus pasti akan mengatakan hal-hal yang bertentangan atau bahkan menertawakan. Akhirnya kami bertiga mencoba untuk tidur kembali setelah aku mematikan lampu. Aku merasa Fauzi tidak tidur karena berkali-kali di mengehela nafas panjang dan berguling-guling saja.
Paginya Fauzi hanya diam. Biasanya dia penuh canda dan selalu tertawa membuat pekerjaan menjadi tidak membosankan. Apapun yang dilakukannya selalu menjadi humor baginya. Tetapi sekarang tidak. Wajahnya kuyu karena kurang tidur. Berkali-kali dia membasuh muka dan seperti menggeleng kepala. Dia pun menghindar dari Agus. Setiap kali Agus mendekat atau berada tidak jauh darinya, dia akan berusaha mencari-cari kegiatan lain. Aku mengerti maksudnya karena dia pasti berpikir, Agus akan mentertawakannya. Juga ketika kami bertiga memberikan kursus matematika kepada anak-anak desa. Fauzi hanya menerangkan satu soal dan tidak mau menjabarkannya seperti biasa. Akhirnya aku yang mengambil alih menjabarkannya walaupun sebenarnya aku sudah lupa lagi pelajaran matematika. Dan memang matematikaku lemah seperti kata asisten dosenku yang manis tetapi judes. Sebenarnya karena terkadang aku kurang konsentrasi.
Kembali ke posko, Fauzi langsung masuk dan duduk didalam. Dia tidak mau duduk-duduk di teras bercanda sambil menyeruput kopi atau menikmati pisang goreng. Akhirnya Agus tidak tahan juga.
“Kenapa dia?” tanyanya sambil mengambil pisang goreng.
“Ngantuk kali” kataku berusaha menutupi kejadian dini hari tadi.
Agus menatapku tajam sambil mengunyah. Dan aku tahu jika Agus bukan orang yang mudah dibohongi. Kami semua tahu kalau Fauzi itu juaranya bergadang dan tidak bisa secepat itu mengantuk seperti kami berdua. Aku menunduk, menyulut rokok, menghindar dari tatapan tajam Agus.
“Ji!” teriak Agus memanggil Fauzi.
“Gue abisin nih jatah pisang lu yak?” katanya sambil mencomot sebuah pisang goreng lagi.
“Abisin!” kata Fauzi lemah.
Akhirnya Agus tahu apa yang terjadi. Atau setidaknya merasa tahu apa yang terjadi. Dia menoleh ke rumah besar di depan lalu masuk kedalam posko. Aku segera mengikutinya dan seperti halnya sebuah persidangan dengan Fauzi sebagai tersangka dan Agus sebagai jaksa. Aku sendiri sebagai hakim, penengah, pengambil keputusan. Didalam posko itu, suasana hening hanya terdengar lemah Fauzi yang bercerita kejadian dini hari tadi. Kami mendengarkan dalam diam. Begini ceritanya.
Fauzi masuk ke halaman rumah besar itu sambil membawa senter, sebatang kayu dan karung. Saat dia sedang mencari-cari ular dengan senternya, dia memang melihat sepintas ular pohon di atas dan ada pula kobra di antara alang-alang. Kobra itu melarikan diri dan masuk kedalam lubang di dinding bangunan yang segera di kejarnya. Ular kobra itu menghilang masuk kedalam rumah. Fauzi segera menyorot lubang itu. Saat itulah dia melihat kedalam rumah dari lubang yang cukup besar untuk mengintip. Dilihatnya sekitar 10 orang laki-laki berpakaian hitam mengenakan tutup mulut memegang golok dan membunuh semua yang ada di ruangan itu. Satu laki-laki naik ke tangga dan tidak berapa lama terdengar jeritan anak perempuan. Satu laki-laki turun membawa buntelan yang sepertinya berisi barang-barang. Lainnya mengambil apa yang berharga yang ada di ruangan itu dan keluar melalui jendela samping. Salah seorang dari perampok itu menyulut api yang segera membakar ruangan dan menjalar ke tangga. Sempat dilihat olehnya dua orang perempuan tergeletak di lantai. Lalu seorang laki-laki dengan sebilah pisau di dadanya.
Melihat itu Fauzi segera berlari ke arah samping rumah sambil berteriak mengejar perampok itu. Tetapi dia tidak melihat apapun dalam gelap. Hanya gelap dan suara derit kayu dimana-mana diterpa angin. Bingung, Fauzi kembali ke rumah yang berkobar. Dicobanya untuk mendobrak pintu utama tetapi tidak berhasil. Lalu kesamping rumah untuk masuk melalui jendela dimana perampok itu tadi keluar. Tetapi anehnya tidak ada jendela atau bahkan pintu disana. Saat itu dia mendengar jeritan anak perempuan dari jendela atas. Dilihatnya ke arah jendela seorang anak perempuan kecil sekitar 7 tahun melambai padanya dengan panik. Di tangan kirinya terlihat seperti sebuah boneka yang dipegangnya dengan erat. Di belakangnya cahaya terang oleh kobaran api. Fauzi berteriak menyuruh anak itu melompat keluar tetapi suaranya hilang ditingkahi gemeretak kayu terbakar dan beberapa benda yang jatuh karena terbakar juga kaca-kaca pecah berserakan.
Dengan putus asa sekali lagi Fauzi berusaha mendobrak pintu hingga bahunya terasa nyeri. Lalu berlari ke halaman untuk meminta bantuan. Saat mencapai pagar, kobaran api dan suara gemeretak benda terbakar di belakangnya itu hilang. Dengan takjub Fauzi berbalik dan melihat rumah itu lebih seksama. Tidak ada apa-apa. Tidak ada jeritan anak perempuan. Tidak ada suara gemeretak benda terbakar. Yang ada hanyalah rumah itu, sunyi senyap, gelap, remang-remang oleh cahaya bulan. Angin berhembus menerpa tirainya melalui jendela kaca yang pecah. Fauzi maju kembali ke rumah itu. Diambilnya senter yang jatuh di depan pintu jati lalu diarahkannya ke sekeliling. Kembali mengintip ke lubang tempat kobra itu masuk. Tidak ada apa-apa. Hanya gelap. Bahkan tidak ada tanda-tanda ular seekorpun. Terdengar langkah kaki tikus dari dalam rumah. Selebihnya hanya gelap. Dengan langkah mundur, Fauzi kembali ke pagar dan seperti dikejar anjing rabies, berlari masuk ke posko lalu membangunkan aku.
Agus berdehem lalu menyeruput kopinya yang sudah dingin. Tertunduk menatap lantai. Sementara aku baru tersadar kalau mulut ini belum mengatup dan dengan cepat kukatupkan mulutku.
“Gue yakin lu pasti pada gak percaya ama cerita tadi” kata Fauzi dengan nada seperti merengek.
“Ji, lu itu kan kurang tidur!” sahutku pelan berharap Agus sependapat denganku. Di luar dugaan, Agus malah mempercayai cerita Fauzi.
“Sepertinya ada sesuatu di rumah itu Ji” kata Agus.
“Gue yakin seyakin-yakinnya kalau memang di rumah itu pasti ada sesuatu!” kata Fauzi.
“Jadi gimana?” tanyaku dengan enggan.
Suasana hening cukup lama. Masing-masing seperti memikirkan sesuatu dan sepertinya pikiran kita sama. Ada sesuatu di rumah tetangga depan posko kami.
“Gini aja…” kata Agus, “besok kita ke rumah pak kades minta ijin untuk masuk ke rumah depan gimana?”
“Trus bilangnya gimana?” tanya Fauzi.
Semua diam sampai akhirnya aku bicara,
“Besok kita bilang pak kades kalau mau mencari ular didalam rumah itu, karena sebelumnya kan lu udah liat ada ular. Nah pasti didalam rumah itu banyak juga ular yang ngejar tikus, gimana?”
Semua mengangguk tanda setuju. Malam telah larut dan akhirnya kami pun rebah di tikar dengan pikiran dan mimpi masing-masing. Tetapi sebenarnya kami semua tidak nyenyak tidur karena cerita Fauzi tadi. Terus terang sebenarnya aku iri pada Fauzi yang telah mengalami kejadian itu. Tetapi itu memang bukan kesempatanku.
Keesokan harinya kami bertiga menghadap kepala desa dan mengutarakan niat kami untuk minta ijin mencari ular di rumah tetangga posko. Pak Adhitya, kepala desa yang berwibawa bergantian menatap kami tanpa berkedip. Lalu tersenyum penuh arti mengambil sekumpulan kunci dari dalam laci meja kerjanya dan berkata,
“Kebetulan kunci rumah itu saya yang pegang. Silahkan dik kalau memang kalian berani masuk kesana, tetapi hati-hati, bangunannya sudah tua, nanti kalau ada kecelakaan tanggung sendiri ya” katanya sambil menyerahkan kunci rumah. Fauzi langsung menyambar kunci itu dan kami pun pamit. Kebetulan hari itu adalah hari libur kami sehingga kami bisa seharian bermain di rumah tetangga depan posko.
Kami berhenti sejenak di depan pagar rumah tetangga kami seperti mengumpulkan keberanian masing-masing. Lalu Agus yang mendorong pagar yang sudah terbuka sedikit. Kami yakin itu peninggalan Fauzi malam sebelumnya. Ada satu yang mengganggu pikiranku dan langsung kuutarakan.
“Lu semua merasa aneh gak dengan pak kades?” tanyaku pada Fauzi dan Agus.
“Aneh kenapa?” mereka balik bertanya bersamaan.
“Kenapa pak kades gak tanya-tanya ngapain kita niat kesini dan gak kasih tahu juga siapa pemilik rumah ini” kataku dengan nada pelan seperti takut terdengar oleh hantu didalam rumah.
“Lu juga gak tanya, jadi buat apa pak kades terangin siapa pemilik rumah” sambar Agus. Sementara aku dan Agus mengobrol, Fauzi sudah sampai di pintu dan memasukkan anak kunci lalu memutarnya.
“Crek!” suara kunci terbuka lalu Fauzi menoleh kepada kami seperti mengatakan ayo cepat. Kami pun bergegas menghampiri Fauzi.
Pintu itu besar dan berat dan Agus yang bertubuh besar kebagian mendorongnya. Terdengar derit engsel seperti suara anak bayi menjerit sedih. Saat pintu terbuka lebar, kami langsung disambut oleh hawa lembab dan bau lumut serta kayu hangus terbakar. Sedikit cahaya masuk dari lubang angin. Aku segera ke jendela dan membuka tirainya. Cahaya matahari pagi langsung menerangi ruangan yang sepertinya merupakan ruang tamu. Terlihat debu dan sarang laba-laba sampai langit-langit yang sebagian hitam karena hangus. Tidak banyak perabotan disitu, hanya sebuah meja dan deretan beberapa kursi. Salah satu kursinya terbalik dan kaki-kakinya hangus terbakar.
Kami mulai mencoba membuka pintu-pintu dengan anak kunci sampai kami ke ruang tengah dan melihat tangga ke lantai atas. Pegangan tangga itu dari kayu jati berukir dan sebagian terlihat bekas terbakar. Kami berpandangan sejenak sebelum akhirnya berebut menaiki tangga. Di lantai atas meskipun penuh debu tetapi tidak segelap seperti di bawah. Mungkin karena ada jendela samping ruangan atas yang tidak diberi tirai. Fauzi lalu menoleh pada pintu paling ujung dan tanpa berkata-kata langsung mencari anak kunci untuk membuka pintu itu.
Akhirnya pintu terkuak lebar dan kami melihat kedalamnya. Ruangan itu seperti kamar anak-anak. Kami menyimpulkan seperti itu karena ada ranjang kecil di sudut tembok dekat ke jendela. Fauzi langsung menuju ke jendela dan membuka tirainya. Kaca jendela itu tidak pecah sehingga debu dikamar itu lumayan sedikit. Ada yang mengganggu otakku yang buntu ini tentang jendela yang tidak pecah tetapi aku lupa tentang apa. Fauzi menyingkap tirai itu dan kami langsung melihat posko beserta jemuran kami. Kami saling berpandangan dan mulai tertawa mencoba menebak baju dan celana dalam siapa saja yang berada di jemuran posko. Suasana ceria itu berubah karena tiba-tiba mendung. Kami berundi siapa yang pulang mengangkat jemuran dan siapa yang tinggal. Akhirnya Fauzi yang kalah dan mengangkat jemuran. Dia pergi sambil cemberut. Agus berkata akan memeriksa kamar lain. Aku lalu duduk di salah satu kursi di kamar itu mencoba berkonsentrasi untuk melihat suasana sekitar. Pandanganku terpaku pada suatu benda dibawah kursi dan aku beranjak menuju benda itu.
Aku berjongkok untuk mengambil benda itu yang ternyata adalah sebuah boneka. Suara petir menggelegar mengagetkanku membuat boneka itu jatuh. Aku memejamkan mata dan memaki diriku sendiri lalu kembali mengambil boneka itu dan duduk di kursi. Aku mencoba untuk berkonsentrasi berpikir, milik siapakah boneka yang aku pegang ini sampai tiba-tiba….
Aku tersadar saat merasakan panas dipipiku. Dua orang sobatku menatapku dengan cemas. Aku meraba pipiku dan aku rasa aku ditampar atau mungkin ditonjok oleh salah seorang temanku.
“Ada apa?” aku bertanya bingung sambil mengelus-ngelus pipi.
“Lu ngigo!” jelas Agus, “susah dibangunin, terpaksa gue tabok!”
“Lu ngimpi apa sih?” tanya Fauzi menyelidik.
Aku mendengus dan mengajak mereka pulang ke posko karena gerimis sudah mulai turun. Benar saja, baru saja sampai halaman posko, hujan turun dengan deras seperti akan menumpahkan semua. Basah kuyup kami masuk kedalam dan Agus segera memasak air untuk membuat kopi.
Setelah kami mengganti baju, Fauzi mengeluarkan kertas dan pulpen lalu mulai menggambar. Entah apa yang digambarnya. Saat Agus menyediakan kopi, dia berkata padaku,
“Lu tadi ketiduran di kursi, trus lu teriak-teriak kayak orang gila!”
“Lu ngimpi apa sih cerita dong!” timpal Fauzi.
Sulit bagiku untuk memulai. Sepertinya lidahku kelu tidak mampu mengucapkan kata-kata sebelum akhirnya aku mulai bercerita.
Saat aku duduk di kursi memegang boneka kayu, tiba-tiba ada hawa aneh yang masuk ke tubuhku. Aku merasa sangat kepanasan dan aku melihat kamar itu terbakar. Aku juga melihat seorang anak perempuan yang sangat ketakutan duduk di sudut kamar lalu berlari ke jendela dan berteriak-teriak meminta tolong. Di tangannya tergenggam boneka. Anak itu akhirnya menyadari bahwa sia-sia untuk meminta tolong karena letak rumah mereka yang cukup jauh dari tetangga. Dia membelai sayang bonekanya dan menyimpannya dengan rapi dikolong kursi disudut kamar lalu duduk menanti ajal di kursi. Aku merasakan paru-paruku sesak dan panas oleh asap. Rasa panas itu melebihi rasa asap karena merokok. Dan lalu aku terbangun karena Agus menamparku.
Selesai bercerita, kedua sahabatku memandang padaku dengan pandangan seperti penyidik kejaksaan. Seakan mereka ingin mencoba percaya apa yang barusan aku ceritakan. Mereka saling berpandangan lalu memandangku lagi, begitu terus sampai akhirnya aku kesal.
“Ya udah kalo gak percaya sih” kataku acuh.
“Bukan gue gak percaya, tetapi sekarang mana bonekanya?” tanya Agus.
“Boneka apaan?” tanyaku balik.
“Yang tadi lu ceritain itu!”
“Gue tinggal disana lah! Emang kenapa?”
“Itu dia!” seru Fauzi, “Kita ambil lagi yok!” ajak Fauzi.
Akhirnya boneka itu berada di posko setelah diambil lagi oleh Fauzi ditemani Agus. Boneka itu terbuat dari kayu. Bentuknya seperti anak perempuan. Bagian yang dulu ada rambutnya sekarang botak. Mungkin sudah terbakar. Boneka itu tersenyum meskipun beberapa bagian tubuhnya sedikit terbakar. Mata sebelah kanannya rusak karena catnya meleleh.
Fauzi menimang-nimang boneka itu. Dibolak baliknya baju boneka yang terbuat dari kain batik yang juga sudah bolong-bolong.
“Pasti ini boneka punya anak perempuan yang gue liat di kamar itu”
“Ji, taro sana! Porno banget lu buka-buka roknya!” kata Agus sambil tersenyum.
“Sialan lu!” kata Fauzi sambil menyimpan boneka itu diatas buku-buku kami.
Hari sudah larut dan setelah makan malam, kami mulai mengantuk dan tidur. Saat tidur itu aku merasa boneka itu melayang-layang di posko.
Keesokan hari kami memeriksa kondisi kesehatan sapi jantan yang kami obati. Sudah sehat, sudah sembuh. Haji Ahmad sangat senang karena sapi itu adalah sapi jantan pemacek. Kami pulang cepat karena tidak ada lagi kegiatan. Saat di posko kami berdiskusi tentang kegiatan kami hari itu sampai tiba-tiba Fauzi menyadari kalau boneka itu tidak ada.
“Kemana tuh boneka?” tanyanya entah pada siapa.
“Gak tau! Kan lu yang mainin!” kata Agus sambil tiduran.
Fauzi mencari sekeliling posko tetapi tidak menemukannya.
“Lu buang ya?” tanyanya padaku.
“Gak, ngapain gue ngurusin boneka?” kataku sebal.
“Mulai gak beres nih” kata Fauzi lagi.
Agus langsung bangun dan duduk. Akhirnya kami putuskan untuk ke rumah Pak Adhitya dan berterus terang tentang kejadian yang telah kami alami. Lagipula, Agus juga berharap kami diajak makan malam oleh Bu Ajeng. Dan beberapa saat kemudian kami sudah duduk di ruang tamu pak kades. Dan benar saja, kami diajak makan malam oleh Bu Ajeng. Setelah makan malam kami mulai membicarakan kejadian yang kami alami di rumah tetangga. Pak Adhitya diam sejenak sebelum akhirnya bercerita.
Jadi dulu itu adalah rumah orang terpandang si desa ini. Keluarga yang kaya raya dari keluarga ningrat. Suatu hari rumah mereka dirampok dan seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, mereka semua dibunuh. Istri, ibu mertua, bapak mertua dan anak perempuan yang berusia 5 tahun. Hanya satu yang selamat yaitu anak bayi berusia 10 bulan karena sedang diasuh oleh pengasuh bayi keluarga itu. Pengasuh itupun selamat karena bersembunyi di semak-semak di belakang rumah. Saat kejadian itu, sang suami sedang keluar kota untuk mengurusi bisnis keluarganya. Sudah beberapa orang yang mengalami kejadian serupa yaitu diperlihatkan suatu kejadian yang mengerikan seperti yang dilihat Fauzi. Misalnya para tukang yang merenovasi rumah, para pembantu lain sampai akhirnya mereka semua mengundurkan diri karena tidak tahan mendengar jeritan-jeritan yang menyayat hati. Sang suami pun merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa keluarganya sampai akhirnya sakit dan meninggal. Sudah beberapa kali diadakan selamatan untuk menghilangkan pengaruh itu tetapi tidak berhasil sampai akhirnya rumah itu ditinggal begitu saja.
Aku menyela cerita Pak Adhitya. “Lalu siapa ahli waris rumah itu?”. Pak Adhitya menatap kami bergantian.
“Anak bayi yang selamat itu!” katanya menjelaskan.
“Kasihan. Siapa yang mengasuhnya?” tanya Agus.
“Ibu saya”. Kata-kata itu keluar dari Ibu Ajeng.
Kami sekarang menunggu Bu Ajeng bercerita. Setelah diam sejenak lalu Bu Ajeng bercerita.
Saat itu sang pengasuh bayi sedang menidurkan bayi yang diasuhnya di kamar belakang. Beberapa langkah saat dia ingin menyerahkan si bayi kepada ibunya terdengar suara gaduh ditingkahi jeritan minta tolong. Dia juga mendengar suara-suara asing yang minta ditunjukkan tempat menyimpan perhiasan dan uang. Pengasuh bayi sudah paham apa yang terjadi sehingga diam-diam dia keluar dan bersembunyi di semak-semak. Beruntung bayi yang diasuhnya sudah tertidur lelap sehingga tidak menangis. Pengasuh itu juga melihat sekitar 10 orang perampok yang membunuh dan menjarah harta benda. Setelah itu kobaran api mulai membesar sehingga dia berlari mencari bantuan kepada orang-orang di desa. Saat bantuan datang semua sudah terlambat. Semua sudah mati termasuk anak perempuan di kamar atas yang mati karena menghirup asap beracun. Segera sang suami disusul dan diberi kabar menyedihkan ini. Saat sang suami sakit, sempat mewariskan hartanya kepada pengasuh bayi dan tentunya kepada bayi itu sendiri. Seminggu kemudian sang suami meninggal.
Saat suami meninggal, maka diputuskan untuk memperbaiki rumah tersebut. Tetapi seperti yang diceritakan tadi, mulai timbul kejadian-kejadian aneh. Rata-rata melihat rumah yang terbakar dan anak perempuan di kamar atas yang menjerit minta tolong sambil menggendong boneka kesayangannya. Akhirnya tidak ada yang mau menerima tawaran untuk memperbaiki rumah itu. Jendela samping yang sebenarnya adalah pintu kecil sudah ditutup tembok. Dan akhirnya rumah itu dibiarkan begitu saja. Beberapa kali kami mengadakan selamatan untuk para arwah yang gentayangan di rumah itu tetapi hanya sementara mereda dan kemudian mereka kembali lagi.
Aku dan kedua sahabatku terdiam mendengarkan cerita Bu Ajeng. Kemudian Fauzi bertanya,
“Dimana makam keluarga itu bu? Kami mau ziarah. Karena bagaimanapun, saya telah melihat mereka”
“Oh makam mereka tidak jauh dari desa ini, biar nanti bapak yang mengantar kalian” jelas Bu Ajeng.
“Tentang bayi yang selamat bu”, kataku menyela, “Dimana dia sekarang?”
Pak Adhitya dan Bu Ajeng berpandangan lalu Pak Adhitya berkata, “Haji Ahmad”.
Kami bertiga mengangguk-angguk dengan mulut seperti mengucapkan huruf o tetapi tidak mengeluarkan suara.
Minggu berikutnya kami putuskan untuk mengunjungi rumah tetangga depan. Kami tiba di kamar anak perempuan yang sekarang kami ketahui merupakan kakak dari Haji Ahmad pemilik peternakan sapi yang sukses. Agus dan Fauzi sekali lagi melihat ke seberang, ke posko. Kali ini mereka tidak meninggalkanku sendirian tertidur di kamar ini. Selagi mereka berdua mengobrol tentang posko dari jendela kamar. Aku kembali duduk di kursi yang pertama kali aku duduk dan tertidur. Pandanganku menyapu sekeliling kamar yang luas itu saat aku merasa ada yang aneh. Boneka itu! Boneka itu tergeletak persis seperti minggu yang lalu aku temukan. Aku menuju tempat boneka itu dan meraihnya. Kudengar kedua sahabatku menghampiriku dan Fauzi berteriak tertahan.
“Kurang ajar! Pasti ada yang mempermainkan kita! Masuk ke posko nyolong boneka ini trus disimpan disini lagi! Huh!” kata Fauzi dengan kesal.
Agus mengulurkan tangannya dan aku menyerahkan boneka itu ke tangan Agus yang lalu memperhatikannya dengan seksama.
“Bagaimana kalau kita ke tempat Haji Ahmad dan kita kasih lihat boneka ini?” tanya Agus.
Aku dan Fauzi berpandangan mencoba menebak pikiran Agus. Akhirnya kami putuskan menemui Haji Ahmad untuk menanyakan boneka itu.
Sampai di rumah Haji Ahmad kami langsung menemuinya dan memberikan boneka itu kepada beliau. Baru kali ini kami melihat lelaki paruh baya itu menangis sambil memegang boneka. Haji Ahmad tidak kuasa menahan rasa terharunya saat kami bawakan beliau boneka milik almarhum kakaknya yang tidak sempat dikenalnya itu. Kalau saja tidak ada kejadian apapun sebelumnya, pasti kami akan senyum-senyum melihat seorang lelaki paruh baya yang menangis sambil memegang boneka.
Haji Ahmad berkata, menurut cerita yang didengar dari ibu angkatnya, boneka tersebut adalah kesayangan almarhum kakaknya. Kemanapun boneka itu selalu dibawa dan ditimang-timang. Mungkin saja saat kejadian itu, kakaknya berpikir untuk menyelamatkan boneka itu dengan menyimpannya hati-hati di kolong kursi. Sekarang arwah almarhum kakaknya menginginkan boneka itu sebagai teman tidurnya yang sepi. Mungkin itu juga sebabnya rumah itu selalu dihantui kejadian mengerikan. Banyak sekali kemungkinan.
Kami bertiga berpandangan dan mengapa kami tidak berpikir ke arah itu? Akhirnya kami berkumpul di rumah Pak Adhitya untuk membicarakan masalah penguburan boneka itu. Kulihat berkali-kali Bu Ajeng menyeka diam-diam air matanya dengan ujung lengan baju. Mungkinkah beliau merasakan apa yang dirasakan oleh kakak perempuan Haji Ahmad saat menyambut malaikat pencabut nyawa? Aku tidak tahu tetapi mungkin saja. Kami juga putuskan untuk melakukan penguburan boneka itu secara diam-diam. Kami tidak ingin Haji Ahmad dicemoohkan warga karena menguburkan boneka. Akhirnya kami sepakat untuk menguburkan boneka itu keesokan harinya karena lebih cepat mungkin akan lebih baik.
Keesokan harinya kami bertujuh yaitu aku bertiga dengan Fauzi dan Ahmad, Pak Adhitya dan Bu Ajeng, Haji Ahmad dan Bu Ahmad sudah tiba di makam keluarga Haji Ahmad. Fauzi mencangkul makam kakak permpuan Haji Ahmad yang di nisannya yang sudah termakan usia puluhan tahun masih terbaca namanya Ajeng. Jadi Bu Ajeng diberi nama oleh ibu angkat Haji Ahmad seperti nama kakak perempuannya. Agus memimpin doa untuk semua arwah yang berada di makam itu terutama untuk keluarga Haji Ahmad.
Kembali dari makam, kami semua merasa lega. Haji Ahmad memutuskan untuk merenovasi rumah warisannya tersebut dengan mempekerjakan para tukang dari luar desa. Alang-alang dan belukar yang hampir menutupi rumah itu sudah berganti dengan rumput yang rapi. Tembok, kusen dan semua yang rusak sudah diganti bahkan lantainya juga diganti. Dengan uangnya, Haji Ahmad berhasil merenovasi rumah itu hanya dalam tempo satu bulan. Bahkan saat membersihkan belukar dan alang-alang, Fauzi seperti mendapat harta karun yaitu ular-ular yang kemudian dia pindahkan ke tempat aman karena pastinya rumah itu sudah tidak menyediakan tikus lagi. Semua tirai sekarang berwarna hijau pupus dengan bunga-bunga emas yang kecil dan manis. Instalasi listrik ditambah dengan beberapa lampu sorot sehingga rumah itu menjadi terang-benderang jika malam hari. Dan, rumah itu diserahkan kepada Ibu Ajeng sebagai adik angkatnya dan sebagai penghormatan terhadap ibu angkatnya yang telah mengasuhnya selama ini. Tetapi, ibu Ajeng tidak berniat untuk tinggal di rumah sebesar itu dan berniat untuk menjadikannya sebagai penginapan.
Sudah dua bulan, rumah itu digunakan sebagai penginapan untuk umum. Kami pun diberi kesempatan untuk menginap gratis di rumah itu yang sekarang sudah tidak menyeramkan lagi. Kecuali kamar anak perempuan kakak dari Haji Ahmad itu tidak disewakan. Barang-barangnya tetap sama kecuali semua tembok sudah di cat putih dan beberapa tambahan perabotan seperti lemari pakaian dan meja rias. Kamar ini digunakan untuk Pak Adhitya dan Bu Ajeng menginap. Seminggu sekali mereka menginap di kamar ini untuk mengawasi penginapan. Tidak terjadi hal apapun bahkan mereka mengaku tidak pernah sekalipun bermimpi buruk. Penginapan ini ramai kala musim liburan terutama karena udara yang segar dan ada kali kecil di belakang penginapan. Berbagai acara kerap dilaksanakan di penginapan ini. Mulai dari pemilihan bayi sehat, lomba memancing, kawinan, sampai ratu kebaya. Kami bertiga sempat diajak menjadi juri untuk pemilihan ternak sehat.
Tiba hari terakhir bagi kami untuk tinggal di desa itu. Beberapa ekor sapi sempat melahirkan dan ada pula beberapa yang sakit dan sudah kami obati. Kamipun tidak hanya mengurus sapi karena beberapa ternak lain seperti ayam, bebek, kambing dan domba juga kami obati saat warga meminta tolong. Hari terakhir itu kami diundang untuk makan siang bersama keluarga Haji Ahmad dan keluarga Pak Adhitya juga diundang. Keceriaan dan kesedihan menjadi satu, sedih karena akan berpisah. Sore itu kami pamit dan berjanji akan kembali suatu saat nanti. Karena barang-barang kami ditinggal di posko maka kami harus kembali ke posko. Haji Ahmad menawarkan kendaraannya untuk mengantar kami sampai ke terminal bus. Setelah mengambil barang-barang, kami segera naik ke mobil terbuka dan pastinya duduk di belakang.
Saat itu hari sudah mulai gelap, rumah tetangga depan alias penginapan Asri itu pun sudah mulai menyalakan lampu-lampunya. Beberapa pegawai penginapan melambai kepada kami dan kami pun membalasnya. Agus dan Fauzi asyik mengobrol sementara mobil mulai berjalan pelan. Tiba-tiba aku ingin sekali lagi melihat kepada rumah itu. Pandanganku terpaku pada tirai hijau di jendela atas. Tirai itu tersibak dan seorang anak perempuan kecil menggendong boneka kayu melambai ke arahku. Aku balas melambai sampai aku tersadar bahwa tidak ada siapapun di kamar itu. Sekarang aku ingat waktu itu saat tirai tersibak bukanlah angin karena kaca jendelanya tidak pecah. Dan tidak mungkin angin menyibakkan tirai yang berat. Aku tidak menceritakannya kepada kedua sahabatku bahkan sampai kami tiba di stasiun bus kota kami. Dan baru sekarang aku merinding…
Jakarta, 10 November 2010
2 comments:
Woowww...
Ya
Post a Comment