Taring merupakan gigi sederhana yang dimodifikasi untuk menginjeksikan bisa ke tubuh mangsa. Taring bekerja dengan organ tubuh lainnya untuk membuat sistem pengiriman bisa menjadi lengkap seperti halnya syringe hypodermic dan jarum.
Bisa dibuat oleh sepasang kelenjar bisa yang besar. Masing-masing kelenjar berlokasi pada setiap sisi kepala, di bawah dan di belakang mata serta di sudut bagian belakang rahang atas. Pada beberapa spesies, kelenjar bisa terdapat di bagian belakang sepanjang leher, dan pada African Nightadder (Causus) kelenjar bisa tersebut dapat berada pada bagian tengah tubuh bahkan sampai jauh ke belakang. Didalam kelenjar ini, dimana bentuknya mirip dengan kacang almond atau buah pir, bisa diproduksi oleh beberapa (biasanya 4 sampai 5) lobus-lobus dari sel-sel sekretori. Sel sekretori dapat membuat lebih dari 80% sel dari total keseluruhan jumlah sel. Sekresi tersebut dikeluarkan melalui suatu pembuluh kacil kedalam ruangan yang kosong yaitu lumen dari kelenjar. Isi lumen ini kemudian kembali ke saluran bisa sambil membawa bisa yang telah siap menuju tempatnya di bagian dasar taring untuk melanjutkan kerja syringe, kelenjar bisa berhubungan dengan badan syringe dan saluran bisa menuju kerongkongan. Saluran bisa dikelilingi oleh sejumlah kecil jaringan glandular diantaranya kelenjar asesoris yang bekerja sebagai katup untuk regulasi aliran bisa menuju taring. Meskipun sekresi kelenjar aksesori bukan merupakan toksik namun dapat mengaktifkan beberapa komponen bisa, bisa yang berasal jauh dari dalam lumen kelenjar bisa maka toksisitasnya tidak begitu tinggi dibandingkan dengan yang berada di dalam taring.
Saluran bisa tidak berada didalam taring. Saluran ini berada didalam suatu selubung yang bersebelahan dengan taring yang dihubungkan dengan suatu jaringan yang mengelilingi dasar taring. Selubung ini terikat erat pada taring yang berlubang yang langsung mengalirkan bisa kedalam saluran taring dan memompakannya ke tubuh mangsa. Sehingga taring hanya untuk merobek atau membuat lubang di tubuh mangsa untuk menyuntikkan bisa.
Taring melebar pada bagian dasar dan melekat erat di gusi seperti halnya jarum suntik. Seluruh taring pada ular berbentuk kurva. Bentuk kurva taring bervariasi pada setiap spesies seperti pada ular derik / rattlesnakes (Crotalus) bagian tengah taring membentuk sudut 60 - 70 derajat. Bagian dasar taring yang melebar terletak di dalam kantung tulang maxillary dan berisi katup yang berakhir di saluran (ductus) bisa. Bisa dialirkan kedalam kanal yang terletak di dalam taring dan kemudian disimpan sebagai pengganti bisa yang telah digunakan. Waktu pergantian dan penyimpanan bisa ini berbeda-beda tergantung dari ukuran tubuh spesies.
Baik pada saluran bisa dan permukaan taring dilapisi dengan enamel. Adanya lapisan enamel ini membuktikan terjadinya evolusi pada taring. Perubahan pertama membentuk semacam lubang di permukaan salah satu gigi maxillary. Agar gigi tersebut berfungsi efektif dalam menyalurkan bisa, maka lubang gigi kemudian membesar dan dalam. Sebenarnya dinding dari lubang terletak sangat dekat sehingga seperti membentuk saluran yang tertutup. Diantara hipotesis evolusi taring, terdapat bentuk garis yang saling berhubungan pada setiap sisi taring. Garis ini terdapat pada ular-ular elapidae dan viperidae, mengindikasikan adanya titik kontak dan fusi dari dua sisi. Perkembangan lain termasuk saluran bisa yang tertutup seperti halnya pada ular African Nightadders (Causus).
Cara Menginjeksikan Bisa
Taring ular mempunyai cara kerja seperti jarum suntik (syringe). Sebenarnya ujung yang bebas dari taring identik dengan ujung jarum. Keduanya mempunyai ujung yang tajam untuk menembus kulit dan otot dan mengeluarkan bisa pada sisi dari ujung taring. Terakhir, otot rahang menekan kelenjar bisa. Kontraksi dari otot rahang ini akan menekan kelenjar, mengalirkan bisa dari lumen kedalam saluran bisa dan mengeluarkannya melalui taring. Diantara jenis ular-ular berbisa, terdapat 3 sistim berbeda dalam mengeluarkan bisa. Contohnya adalah taring ular viper dan pitviper yang terlipat seperti pada ular Australian Deathadders dan African Stilettoviper. Ketiga sistim tersebut berevolusi dari dasar gigi ular yang membentuk kurva seperti bentuk corong. Bentuk asli dari gigi aglyphous (gigi tanpa lubang) terdapat pada semua jenis ular, bahkan ular yang bertaring dan kebanyakan ular hanya memiliki gigi aglyphous ini.
Evolusi pembentukan lubang pada taring terjadi hanya pada gigi maxillary di rahang atas. Tiga jenis sistim penghantar bisa diantaranya juga dibedakan atas posisi taring pada maxillary, saluran bisa, dan mobilitas atau pergerakan taring. Ular-ular Ancestral tidak berbisa meskipun gigi taringnya berlubang. Seluruh ular buta (Blindsnake), Boa, Phyton/Sanca dan ular Henophidian masih memiliki gigi aglyphous. Mayoritas dari ular Colubrid (Kobra, Mamba, dll) dan ular-ular dari famili berbisa lain juga memiliki gigi aglyphous meskipun pada beberapa spesies memiliki 1 atau 2 gigi belakang yang besar pada setiap tulang maxillary. Gigi besar ini dapat terpisah dengan gigi maxillary depan oleh semacam ruangan kosong yang disebut diastema. Diastema ini biasanya terpisah dengan gigi belakang yang besar baik itu berlubang atau tidak, dari gigi maxillary kecil bagian depan.
Ular dengan gigi maxillary belakang disebut ophisthoglyphous (opiistho, belakang). Pada beberapa ular Colubrid opisthoglyphous, gigi yang besar tidak berlubang namun kebanyakan spesies lain memiliki lubang pada bagian wajah atau di setiap sisi gigi besar tersebut. Pada awalnya, keberadaan gigi besar ini kemungkinan hanya untuk memegang mangsa, seperti terlihat pada ular Garter (Thamnophis). Namun demikian gigi tersebut tidak hanya berfungsi untuk merobek mangsa, karena sejumlah saliva akan masuk kedalam luka.
Adaptasi kemudian berkembang tidak hanya hasil dari toksik yang terkandung didalam saliva namun juga berfungsi sebagai pencernaan awal atau proses efek tranqulizing dari saliva dan proses ini sangat efektif terutama bila robekan kulit mangsa cukup dalam. Semua evolusi tersebut menyebabkan timbulnya taring dan kelenjar bisa yang menghasilkan berbagai jenis bisa dan sistim pengeluarannya.
Evolusi sistim pengeluaran bisa berkembang lagi menjadi 2 sistim yaitu: menancapkan taring depan (Proteroglyphous) (Protero, awal) dan menancapkan gigi belakang yang berlubang (Solenoplyphous) (Soleno, pipa). Pada kedua evolusi tersebut, gigi yang berlubang menjadi taring dengan bentuk tertutup dan menjadi semacam pelindung pada bagian depan mulut. Pada ular-ular proteroglyphous, bentuk taring pendek karena bila panjang maka akan melukai diri sendiri bila menembus dinding mulut bawah pada aat melumpuhkan mangsa. Ular-ular dengan tipe taring proteroglyphous ini adalah ular elapidae, diantaranya Kobra, Taipan, Coralsnake, Seasnake dan familinya.
Pada beberapa spesies, terutama ular laut (Seasnake), taring lebih panjang sedikit daripada gigi di belakangnya. Secara umum ular-ular Proteroglyphous akan menggigit dan memegang mangsa lalu menyuntikkan bisa kedalam luka gigitan. Perilaku ini terlihat secara umum diantara ular sejenis dimana mangsa seperti ikan yang umumnya licin mudah terlepas sebelum ular sempat menyuntikkan bisa. Sehingga metodanya adalah tangkap, gigit, dan suntikkan bisa untuk kemudian ditelan.
Ular elapidae yang besar seperti King Cobra (Ophiophagus hannah) panjang taringnya hanya 8-10 mm. Taring yang lebih pendek terdapat pada ular-ular Mamba (Dendroaspis sp.) yaitu + 7 mm pada Kobra India (Naja naja) dan + 3 mm pada ular coral harlequin dewasa (Micrurus fulvius) dan ular laut Yellow Bellied (Pelamis platurus).
Taring yang terlipat pada ular Viper dan Pitviper (Viperidae) memperlihatkan sistim berbeda dalam menyuntikkan bisa. Ular ini dapat menyerang mangsa, keluarkan bisa dan kemudian melepaskan mangsa sehingga ular itu sendiri tidak terluka oleh mangsa yang melawan. Taring yang terlipat ini terletak di bagian depan mulut di tulang maxillary yang pendek yang dapat berputar ke maju dan mundur. Bila tidak digunakan, taring terlipat rapi ke belakang dan ke atas menjauh dari dasar mulut dan tertutup rapi pleh lapisan membran. Pada saat menyerang, maxilla berputar ke depan membuat taring ereksi dan mulut membuka hapir 180 derajat. Saat mulut menggigit mangsa, rahang tertutup, menancapkan taring ke tubuh mangsa dan pada saat itu pula bisa di injeksikan. Taring kanan dan kiri dapat berputar sendiri-sendiri meskipun kedua taring tersebut berereksi bersama. Ular viper akan mengembalikan taringnya ke tempat semula setelah menelan mangsa.
Taring yang dapat dilipat merupakan perkembangan dari taring yang panjang agar mulut dapat tertutup dan tidak melukai mulut pemiliknya. Ular-ular Viperidae memiliki taring yang lebih panjang dibandingkan dengan ular-ular proteroglyphous yaitu Elapidae, dan beberapa beberapa Viperidae kelihatannya memiliki taring yang lebih panjang lagi. Ular Bitis (dari grup Viper Afrika) memiliki taring terpanjang dalam kelompok Viperidae yaitu sekitar 28 mm pada ular Puffadder (Bitis arietans), dan sekitar lebih dari 30 mm pada ular Viper Gaboon besar (Bitis gabonica). Bahkan ular Copperhead kecil (Agkistrodon contortrix) dan ular Viper Eropa (Vipera berus) memiliki taring dengan panjang 7 mm atau lebih.
Taring lipat juga terdapat pada grup ular lain seperti ular Australian Deathadder (Acantophis) yang meskipun termasuk ular elapidae namun mereka sebenarnya termasuk ular dengan gigi Solenoglyphous. Mekanisme taring yang terlipat ini mirip dengan mekanisme taring pada ular Viper dan Pitviper. Ular Deathadder juga memiliki potongan tubuh untuk berburu secara diam-diam seperti halnya Viperidae, yang merupakan evolusi yang sangat baik.
Ular Moleviper Afrika atau Ular tanah Afrika (Atractaspidinae) juga merupakan ular solenoglyphous. Mereka memiliki tulang maxillary dengan rotasi dan tempat yang pendek, namun mereka menyerang lebih cepat dibandingkan dengan ular-ular Viperidae dan Deathadders. Mereka mengejar mangsa sampai ke lubang-lubang dan mampu menyerang di dalam lubang tersebut. Mereka mengikuti mangsa sedekat mungkin sampai bersebelahan dengan mangsa, membuka mulut dan menarik rahang bawah kedalam lalu menancapkan taring ke mangsa. Dengan gerakan mundur dan menyamping, ular ini menancapkan taring dan menyuntikkan bisa ke tubuh mangsa (biasanya rodensia yang baru lahir dan kadal tanah). Karena gerakan rahang yang mundur dan bukan maju (seperti sepatu hak tinggi), maka orang-orang yang menangkap ular ini pada bagian belakang kepala akan berakhir dengan suntikan bisa pada jari-jari atau ibu jari sehingga ular ini dinamakan juga ular Stiletto viper (ular sepatu berhak tinggi).
Ular berbisa yang baru lahir sudah dapat mengoperasikan taring dan bisa. Mereka sudah memiliki taring dan langsung menyuntikkan bisa pada saat menggigit. Meskipun demikian, semua ular yang mempunyai gigi dan taring hanya menggunakannya bila memangsa atau untuk pertahanan. Selebihnya, taring dan gigi mereka tersembunyi dengan rapi di dalam mulut.
Gigi yang tanggal secara rutin akan tergantikan, dan bila gigi tersebut patah, ular akan mendorong keluar sisa gigi yang ada didalam gusi. Taring proteroglyphous dan solenoglyphous akan tergantikan bila patah atau lepas dengan bentuk yang tidak sama. Terdapat 5-7 kali pergantian taring di gusi belakang dan di atas taring. Taring yang tumbuh lagi ini tergantung juga dari kondisi ular. Bila taring tersebut sudah kurang berfungsi, maka taring cadangan akan tumbuh mengarah ke belakang. Taring cadangan ini berfungsi bila taring utama tersebut lepas atau rusak.
Taring cadangan ini tidak seperti halnya taring lama namun berbentuk miniaturnya sehingga sejalan dengan pertumbuhan taring cadangan, maka taring lama akan terdorong keluar dari tempatnya dan lepas tergantikan oleh taring cadangan ini. Taring baru ini dapat berfungsi dalam waktu sekitar 10 hari sampai 6-10 minggu, tergantung dari spesies dan kondisi ular. Selama tahap pergantian ini, ular akan terlihat mempunyai 2 pasang taring pada setiap sisinya.
sumber: World of Snakes
(copas link: https://www.facebook.com/notes/abas-nyak-agil-mamih/taring-dan-gigi-ular/447564222807) by Abas Nyak Agil Mamih on Tuesday, October 12, 2010 at 10:37pm
No comments:
Post a Comment