Agheelz Go Blog

Hai. Selamat datang di Agheelz Go Blog. Blog ini berisi tulisan-tulisan saya, beberapa sumbangan tulisan lain dari teman-teman, saran atau ide atau pendapat dan dari kumpulan hasil berburu berita. Karena saya juga senang memotret, saya juga tampilkan hasil memotret itu kedalam blog saya. Kritik atau saran atau ide saya terima dengan tabah.

Wednesday, May 1, 2013

Kotak Makanan Untuk Iqbal


          “Ibu…”, seru Iqbal saat melihat ibunya dan beberapa orang lain yang sedang merapikan sampah hasil memulung hari itu. Diraihnya tangan kanan ibunya lalu diciumnya. “Cepat sana ganti baju!”, kata ibunya. Iqbal segera berlari kecil menuju tempat tinggalnya diikuti sang ibu yang menggendong keranjang bambu besar di punggung. Sampai di depan sebuah pintu lapuk yang sudah terbuka, sang ibu meletakkan keranjangnya di pinggir pintu, melepas topi dan sepatu lusuhnya, mengenakan sendal jepit yang sudah tipis dan berjalan ke bilik yang bertuliskan “MCK” alias mandi cuci kakus. Terdengar suara pompa tangan mengucurkan air lalu ditampung di sebuah ember bekas cat. Digayungnya air lalu dibasuhnya tangan, kaki dan wajahnya lalu berjalan kembali ke pintu lapuk tadi.

            Dibalik pintu kayu lapuk yang terbuka samar sinar matahari siang yang masuk karena terhalang gedung perkantoran bertingkat di lahan sebelah. Didalam ruangan sempit itu terlihat hamparan tikar plastik yang di salah satu ujungnya dekat sekat pemisah sudah mulai melepaskan jahitannya. Di sudut itu pula ditumpuk pakaian yang jumlahnya tidak banyak. Tersisa sedikit lantai semen digunakan untuk menyimpan kompor dan disebelahnya sebuah baskom plastik berisi beberapa piring, gelas dan sendok. Disebelahnya lagi tertata segaris adalah rantang berisi sayur, sebuah mangkok berisi beberapa potong tempe goreng lalu cerek air minum. Digantung dengan paku diatas kompor dua buah panci yang kecil dan agak besar yang penyok disana sini serta sebuah wajan.
            Iqbal sudah mengganti bajunya. Baju dan celana sekolahnya digantungnya di sebuah paku di atas tumpukan baju. Dilihatnya lagi baju kaos lengan panjang berwarna putih seragam dari sekolahnya. Dipandanginya sebuah gambar seperti pendar cahaya matahari di saku baju itu. Dibawah gambar itu tertulis “TK Dian”. Iqbal lalu duduk di tikar menunggu ibunya menuangkan nasi, meletakkan sepotong tempe goreng dan menanyakan apakah mau dituang sayurnya sekalian. Iqbal mengangguk lalu mengambil tas punggung sekolahnya dan mengeluarkan botol minuman serta kotak makanan. Tempat minum bergambar gajah terlihat sudah mulai kecokelatan karena terlalu sering diisi dengan air teh. Bagian tutupnya sudah tidak rapat lagi. Lalu kotak makanan dari plastik berwarna hijau dengan tutup putih itu pun sudah hampir sama nasibnya. Karena itu ibunya tidak lupa untuk selalu mengikatkan karet gelang ke kotak makanan itu agar isinya tidak tumpah.
            Diterimanya sepiring nasi dari tangan ibunya lalu duduk bersila di tikar menunggu ibunya duduk di sebelahnya. Setelah ibunya menyuruhnya makan barulah Iqbal mulai memotong goreng tempe dengan sendok lalu menyendok nasi. Lahap dikunyahnya nasi dan lauk tempe itu.
”Tadi Iqbal belajar menggambar bu”, kata Iqbal sambil mengunyah.
”Gambar apa?”, tanya ibunya sambil menuangkan minum dan diletakannya disamping Iqbal.
”Gambar bebek lagi bernang di kali”, kata Iqbal lagi sambil mengambil buku gambarnya dari tas dan memamerkan kepada ibunya. Terlihat gambar seekor bebek berwarna kuning dengan paruhnya yang merah dan bentuknya lebih mirip angka 2 ketimbang bebek. Lalu setengah halaman buku gambar itu diberi warna biru acak-acakan yang menurut Iqbal adalah kali.
Ibunya menatap Iqbal sambil tersenyum. Dipandangi wajah anaknya yang sedang lahap makan sambil melihat hasil gambar bebeknya dengan bangga. Bahagia rasanya bisa menyekolahkan anak satu-satunya itu ke sekolah taman kanak-kanak meski berhutang sana-sini untuk mendaftar. Beruntung sekolah taman kanak-kanak itu juga tidak keberatan untuk dibayar mengangsur sebanyak 3 kali. Ibunya juga yakin jika ayahnya Iqbal yang sudah dua tahun lalu meninggal pasti ikut tersenyum disana. Dan entah sampai kapan ibunya akan berusaha sampai Iqbal bisa meneruskan sekolah.
            Orang tua Iqbal adalah pemulung. Ayahnya Iqbal hanya bersekolah sampai kelas 6 sedangkan ibunya hanya sampai kelas 3 sekolah dasar. Saat Iqbal berumur tiga tahun, suaminya sakit tuberkulosis. Mungkin karena terlalu giat bekerja memulung kadang sampai larut malam ditambah sering bergumul dengan sampah menyebabkan kondisi tubuhnya lemah. Jauh sebelum Iqbal lahir, mereka berdua tidur di emperan toko atau di kolong jembatan. Sampai akhirnya mereka bisa mengumpulkan uang dan menyewa sebuah bilik di suatu lahan yang dimiliki oleh bos pemulung. Kepada bos  itulah para pemulung menyetor hasil memulung dan mendapatkan sejumlah uang. Kantong plastik bekas, gelas plastik, botol beling, botol plastik, barang rongsok, besi karat, koran bekas, majalah bekas dan sebagainya yang bisa didaur ulang. Disini, dikelilingi tumpukan barang rongsok dan sampah daur ulang Iqbal lahir. Meski demikian sebelum meninggal suaminya berpesan agar sang istri semampunya menyekolahkan Iqbal.
           ”Temen Iqbal si Reza, si Dita, si Kemal punya kotak makanan bagus deh bu. Ada kancingnya jadi bisa dikonci. Ceklek. Gitu. Jadi makanannya gak bakalan tumpah. Oya si Desi ama Rizki juga punya!”, kata Iqbal sambil menghabiskan sesuap nasi terakhir. Sesaat ibunya tertegun. Diteguknya minum mendorong makanan yang terasa mengganjal di tenggorokan lalu cepat-cepat dihabiskannya makanannya. Dikumpulkannya piring-piring bekas mereka makan. Dengan sigap Iqbal membawanya keluar lalu memasukkannya kedalam sebuah ember yang sudah tidak jelas warnanya dan membawanya ke bilik MCK lalu mencucinya. Kembali dari mencuci piring, Iqbal bersiap mengikuti ibunya untuk memulung. Dipakainya topi satu-satunya yang sudah lusuh dan mengambil karung plastik bekas. Ditunggunya sang ibu yang membersihkan tikar dengan sapu lidi. Setelah menutup pintu kayu lapuk dan menggemboknya, ibu dan anak itu segera menyusuri jalanan kota keluar masuk perumahan dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Hari sudah siang dan mereka harus secepatnya berkeliling karena bersaing dengan pemulung lain. Mereka berharap bisa mengumpulkan banyak barang bekas hari ini untuk penyambung hidup mereka.
            Seperti umumnya pemulung, mereka bekerja dalam diam tidak terkecuali Iqbal. Namun hari ini Iqbal terus bercerita tentang kotak makanan milik teman-temannya yang bisa dikunci. Iqbal juga bertanya kira-kira berapa harga kotak makanan itu. Sang ibu hanya diam tetapi hatinya perih. Dia ingin membahagiakan Iqbal. Dia tidak tega jika Iqbal ikut memulung bersama dirinya. Tetapi Iqbal selalu memaksa dengan alasan menemani ibu. Si ibu tahu jika sebenarnya Iqbal sangat menginginkan kotak makanan seperti milik temannya. Tetapi Iqbal memang anak yang sudah mengerti di usianya yang baru 5 tahun. Iqbal seakan tahu bagaimana kehidupan mereka dan ketidak hadiran ayah diantara mereka, Iqbal tidak pernah memaksa untuk dibelikan sesuatu.
            Sudah dua bulan semenjak Iqbal bercerita tentang kotak makanan milik teman-temannya. Dan sejak itu pula Iqbal tidak bercerita lagi. Setiap hari Iqbal tetap bersemangat untuk bersekolah. Dan setiap hari ibunya tidak lupa mengikat kotak makanan Iqbal dengan karet agar isinya berupa roti yang dibeli dari tukang roti pikul itu tidak meloncat keluar kotak dan tergeletak diantara buku menggambar. Jika hari ini roti yang dibawa Iqbal berisi cokelat maka esoknya roti berisi moka atau nanas atau kacang. Kadang Iqbal juga membawa nasi dengan lauk tempe atau tahu goreng atau telur mata sapi yang diberi kecap sehingga nasinya terlihat menghitam. Air minum yang dibawa Iqbal kadang teh manis atau teh tawar dan lebih sering air minum biasa. Dan sekarang tutup tempat minumnya harus pula diganjal plastik lalu diikat karet agar tutupnya tidak terbuka lalu isinya membasahi tas buku gambarnya.
            Suatu hari Iqbal terlambat pulang dan saat pulang wajahnya berseri mendekat ke ibunya. Diacungkannya selembar uang Rp.5000 sambil tersenyum. Senyumnya menghilang manakala melihat kedua mata ibunya yang melotot dan wajah marah. Ditariknya tangan Iqbal seraya membentak, ”Kamu minta-minta ya? Ibu sudah bilang jangan jadi tukang minta-minta! Kita miskin tapi kita bukan tukang minta-minta! Ngerti kamu?”
”Bukan bu. Iqbal bukan minta-minta bu...”, kata Iqbal memelas. Kedua bola matanya kini basah dan wajahnya ketakutan. Iqbal ingat persis bagaimana pesan ibunya agar tidak mengemis dan Iqbal mematuhinya.
”Jadi dari mana kamu dapat uang?”, tanya ibunya tanpa melepaskan tangan Iqbal.
”Tadi Iqbal bantuin bapak-bapak angkatin barang bu. Iketan barangnya lepas trus barangnya jatoh dari motor. Trus Iqbal dikasih uang. Iqbal ga minta kok bu...”, kata Iqbal berusaha keras menahan tangis namun sia-sia sebab dua tetes air mata terlanjur mengalir di pipinya. Ibunya melepaskan tangan Iqbal. Melihat wajah Iqbal penuh sayang lalu menarik kepala Iqbal ke pelukannya seraya meminta maaf.
”Buat ibu...”, kata Iqbal mengulurkan uang.
”Buat Iqbal aja, buat nabung ya!”, kata si ibu penuh haru dan mengusap air mata dari pipi Iqbal dengan ujung baju kaosnya. Iqbal mengangguk dan tersenyum lalu memasukkan uang Rp.5000 itu kedalam kaleng bekas susu formula bayi dan menyimpannya lagi di sudut ditutupi tumpukan pakaian.
            Suatu hari si ibu mengajak Iqbal masuk ke sebuah pusat belanja. Siang itu mereka tidak memulung. Si ibu dan Iqbal memakai pakaian terbaiknya. Iqbal memakai baju kaos bergambar logo sebuah klub sepak bola luar negeri dengan celana sebetis berbahan jins. Si ibu mengenakan baju panjang berbahan batik berwarna merah yang sudah mulai pudar warnanya dipadu dengan celana bahan berwarna hitam yang kancingnya menggunakan peniti. Tidak ketinggalan kerudung putih kekuningan bergambar bunga-bunga kecil. Keduanya masuk kedalam supermarket dan Iqbal langsung tertarik pada rak berisi banyak sekali mainan. Ibunya membiarkan saja Iqbal memainkan mainan-mainan itu dengan pesan hati-hati jangan sampai rusak. Bagi mereka, pusat perbelanjaan adalah tempat hiburan yang sangat terjangkau. Udaranya sejuk dan banyak barang yang dilihat. Beberapa barang diantaranya sering mereka pulung dari tempat sampah di suatu perumahan elit. Kadang barang-barang di tempat sampah itu hanya rusak sedikit atau sobek sedikit. Tetapi untuk apa memperbaikinya sebab mereka bisa membeli lagi yang baru.
            Mereka tiba di deretan rak penuh peralatan terbuat dari plastik, besi dan besi anti karat. Si ibu memegang sebuah panci yang sangat diinginkannya. Lalu sendok, garpu, gelas, wajan dan semuanya. Dibayangkannya semua itu masuk kedalam bilik sempitnya. Ah, tidak akan. Tidak akan terbeli semua peralatan masak yang terlihat bersinar dibawah cahaya lampu super market itu. Lagipula tidak pantas rasanya barang-barang itu ada didalam biliknya. Tiba-tiba Iqbal datang menarik tangannya dan setengah menyeretnya mengajak ke deretan rak di sebelah. Disana Iqbal langsung menunjuk ke sebuah rak yang memamerkan aneka kotak makanan. Di deretan rak nomor 3 terletak kotak makanan yang menggunakan kunci seperti yang pernah Iqbal ceritakan. Warna dan gambar di kotak itu beraneka macam. Iqbal menunjuk sebuah kotak berwarna biru dengan gambar tokoh kartun pahlawan super yang menggunakan topeng dan baju ketat berwarna merah.
”Itu yang seperti punya Rizki ama Reza bu!”, pekik Iqbal dengan kagum. Ibunya meraih kotak makanan berwarna biru itu. Dirabanya kotak plastik itu lalu Iqbal memintanya untuk melihat. ”Iya bu ini. Nih bu ada kuncinya nih. Liat ya bu, liat”, kata Iqbal sambil mengangkat kunci kotak makanan itu. Terdengar bunyi ”klak” saat kunci kotak makanan itu dibuka. Tutupnya terbuka dan terangkat sedikit. Perlahan Iqbal membuka tutup kotak makanan itu. Terlihat oleh mereka satu set sendok garpu tersusun rapi pada tempatnya. Iqbal mengangkat tempat sendok garpu tadi dan terlihat ruang kosong tempat menyimpan makanan. Dinding kotak makanan itu dilapis dengan bahan kedap yang dapat menjaga makanan tetap hangat bahkan dingin.
”Bagus ya bu?”, tanya Iqbal sambil tersenyum pada ibunya. Ibunya mengangguk lalu melihat harga kotak makanan itu yang ditempel di bibir rak. Hampir tidak percaya matanya melihat harga yang dibaca, Rp.99.500,-. ”Iqbal...”, kata ibunya lirih nyaris tidak terdengar. Iqbal melihat ke arah telunjuk ibunya. Iqbal memperhatikan angka yang tertera disana dan mulutnya ternganga. ”Mahal ya bu...”, kata Iqbal tertunduk sambil tetap memegang kotak makanan itu. Si ibu melihat kesedihan di wajah anaknya dan hatinya tercabik. Diambilnya kotak makanan itu dari tangan anaknya. Dirapihkannya dan dikembalikannya ke tempat semula. Beberapa orang ibu-ibu lewat di depan mereka memilih barang. Mereka mendorong kereta belanja yang rata-rata sudah terisi bahkan dua buah kereta belanja terisi penuh. Salah seorang dari ibu-ibu itu mengambil kotak makanan yang tadi dipegang Iqbal. Diperhatikannya kotak itu lalu dibuka kuncinya, melihat kedalam, meraba-raba dindingnya lalu menutup kembali. Diletakannya kotak makanan berwarna biru itu lalu diambilnya sebuah lagi kotak makanan berkunci itu. Kali ini berwarna merah. Dibuka dan diperiksanya. Setelah yakin isinya lengkap, kotak makanan itu berpindah ke kereta belanjanya lalu mendorongnya menjauh dari Iqbal dan ibunya.
            Ibunya menggandeng tangan Iqbal mengajaknya pulang. Dalam perjalanan pulang mereka berdua hanya diam. Si ibu tahu jika Iqbal sangat menginginkan kotak makanan itu tetapi anak itu tidak akan merengek minta dibelikan. Keinginannya hanya disimpan dalam hati. Si ibu menggenggam erat dompetnya dan berpikir keras bagaimana cara mendapatkan uang tambahan untuk membeli kotak makanan itu. Tidak mungkin meminjam tetangga karena mereka sama susah. Meminjam dari bos juga tidak mungkin sebab masih ada ada hutang saat membayar sekolah Iqbal. Satu-satunya jalan adalah dia harus memulung malam hari. Seandainya ayah Iqbal masih ada tentunya beban bisa dipikul bersama. Wajahnya terasa panas dan tenggorokannya seakan tercekik tangan yang tidak terlihat. Dipalingkannya wajahnya saat terasa air mata mulai keluar dari tempatnya. Sabar Iqbal sayang, katanya dalam hati saat mereka sampai di depan pintu kayu yang lapuk itu.
            Musim panas lewat sudah dan sekarang musim hujan tiba. Hujan di awal musim membuat banyak orang khawatir karena banjir. Berita di media menyebutkan banjir dimana-mana tidak terkecuali tempat tinggal para pemulung. Kebetulan bersebelahan dengan lahan pemulung itu mengalir sebuah kali. Banjir juga kadang masuk kedalam gubuk-gubuk pemulung itu membuat mereka tidak berkutik dan hanya pasrah. Dibalik musibah banjir ada juga yang justru mendapatkan rejeki. Mereka adalah para pemulung tidak terkecuali ibunya Iqbal. Sedikit demi sedikit hutang mulai berkurang dan yang lebih membuat ibunya Iqbal senang adalah bisa menabung untuk membelikan kotak makanan.

            Hari itu si ibu ingin membuat kejutan untuk Iqbal. Uang sebesar Rp.150.000 berada dalam dompetnya. Si ibu berencana untuk membeli kotak makanan yang diinginkan Iqbal dan sisanya untuk pembeli tempat minumnya. Sejak pagi Iqbal berangkat sekolah gerimis tidak kunjung henti. Tetapi saat kakinya menginjak lantai utama pusat perbelanjaan, gerimis berhenti seakan mengerti. Ditutupnya payung besar yang salah satu ujungnya mengeluarkan rangka payung karena jahitannya lepas. Dititipnya payung itu di tempat penitipan barang, mengambil keranjang belanja lalu bergegas masuk supermarket. Di rak tempat barang-barang plastik, diambilnya hati-hati kotak makanan berwarna biru. Tersenyum dibukanya kunci kotak makanan itu dan terdengar bunyi ”klek” lalu tutupnya terbuka sedikit. Diperiksanya isi kotak makanan itu seperti yang dia lihat sebelumnya saat seorang ibu memeriksa kotak makanan dan memasukannya kedalam kereta belanja. Sekarang kotak makanan itu sudah masuk kedalam keranjang belanja. Lalu si ibu menuju rak berikutnya tempat botol minuman berjajar aneka warna. Dipilihnya botol minuman yang berwarna biru pula dan dengan harga dari uang yang tersisa. Masih ada sisa sedikit uang tetapi si ibu berencana untuk menambah tabungan Iqbal.
            Setelah merasa cukup apa yang menjadi tujuannya di supermarket si ibu mengantri di kasir. Semua kasir penuh dengan orang-orang yang mau membayar. Diliriknya kereta belanja yang penuh berisi bahan makanan. Sebagian lagi ada juga yang menenteng keranjang belanja seperti dirinya. Dia menunggu dengan sabar untuk gilirannya membayar. Sambil menunggu dibayangkannya Iqbal yang pasti akan senang. Setelah membayar, si ibu menuju tempat penitipan barang dan mengambil payungnya lalu bergegas keluar dari pusat perbelanjaan.
            Di luar rupanya hujan sangat deras. Banyak orang-orang yang menunggu hujan reda sebelum melanjutkan pergi. Beberapa orang tidak perlu kehujanan karena mobil menjemput mereka dibawah atap pelataran pusat perbelanjaan. Beberapa orang lagi terlihat kembali kedalam pusat perbelanjaan dan keluar menggunakan payung yang baru dibeli. Si ibu memegang erat payung bututnya. Tidak mungkin menerobos hujan yang deras dengan payung itu. Maka ditunggunya hujan sedikit reda dengan sabar. Hampir setengah jam si ibu dan orang-orang menunggu hujan cukup reda lalu membuka payungnya dan berjalan pulang diiringi suara petir yang menggelegar.
            Di pinggir jalan yang basah karena hujan dekat lahan tempat gubuk-gubuk pemulung itu tinggal terlihat banyak kerumunan orang. Si ibu heran sebab beberapa orang banyak yang tidak dikenalnya. Lalu mobil ambulans dan beberapa sepeda motor. Tiba-tiba hatinya gelisah dan jantungnya berdebar. Setengah berlari si ibu menghampiri kerumunan orang banyak itu dan bertanya, ”Ada apa?”. ”Ada anak kelelep”, kata seorang bapak yang mengenakan kaos lambang sebuah partai. Si ibu melihat orang berkerumun di depan pintu lapuk gubuknya. Dan saat si ibu melihat beberapa tetangganya yang ikut berkerumun disana dengan tatapan kasihan, dia berteriak ”Iqbal!”.
Si ibu masuk dan seakan tidak percaya melihat tubuh anaknya yang terbujur pucat di tikar. Dipeluknya jasad Iqbal sambil menangis membuat para perempuan yang ada disana ikut menangis. Beberapa saat si ibu memeluk jasad anaknya, mengguncangnya, menepuk pipinya berharap Iqbal hanya pingsan. Baju Iqbal yang bertuliskan TK Dian itu basah. Iqbal dan teman-temannya bermain di kali sepulang sekolah. Rupanya hujan membuat hulu sungai banjir dan airnya memasuki kali kecil di belakang lahan pemulung itu. Arus yang deras menyeret bocah-bocah itu. Mereka bisa diselamatkan namun Iqbal yang tubuhnya paling kecil dan kurus itu tenggelam cukup lama karena tertutup oleh batang kayu besar dan sampah. Tidak ada yang dapat dilakukan para penolong setelah berhasil meraih tubuh Iqbal.
Kini si ibu hidup sendiri di gubuknya. Iqbal telah dimakamkan. Para tetangga yang menghibur dan menemaninya sudah kembali ke gubuk masing-masing. Dalam kesendirian itu dilihatnya kaleng bekas susu formula bayi yang menjadi celengan Iqbal. Dibukanya tutup kaleng itu dan dilihatnya uang logam dibawah dan beberapa uang kertas seribuan yang kumal dan di paling atas adalah selembar uang kertas Rp.5000. Ditutupnya lagi kaleng susu itu lalu melihat tas Iqbal di sudut. Rupanya Iqbal sempat pulang dan menyimpan tasnya sebelum musibah itu terjadi. Dibukanya tas Iqbal dengan sayang. Dilihatnya kotak makanan Iqbal yang belum sempat dikeluarkan. Teringat si ibu akan kotak makanan yang dibelinya untuk Iqbal. Diambilnya kotak makanan itu dan dipeluknya. Disesali dirinya yang tidak segera pulang menunggu anaknya. Mengapa tidak pulang saja. Mengapa harus menunggu hujan reda. Dan banyak lagi mengapa lainnya. Lalu dilihatnya buku gambar Iqbal. Diambil dan dibukanya buku gambar itu. Helai demi helai buku gambar itu dibuka lalu terhenti di helai bergambar bebek berwarna kuning dengan paruh merah. ”Gambar bebek lagi bernang di kali”, demikian kata Iqbal waktu itu. Lalu air mata si ibu mengalir deras seperti hujan dan banjir di kali yang deras yang menghanyutkan anaknya.

No comments: