“Ibu…”, seru
Iqbal saat melihat ibunya dan beberapa orang lain yang sedang merapikan sampah
hasil memulung hari itu. Diraihnya tangan kanan ibunya lalu diciumnya. “Cepat sana ganti baju!”, kata
ibunya. Iqbal segera berlari kecil menuju tempat tinggalnya diikuti sang ibu
yang menggendong keranjang bambu besar di punggung. Sampai di depan sebuah
pintu lapuk yang sudah terbuka, sang ibu meletakkan keranjangnya di pinggir
pintu, melepas topi dan sepatu lusuhnya, mengenakan sendal jepit yang sudah
tipis dan berjalan ke bilik yang bertuliskan “MCK” alias mandi cuci kakus.
Terdengar suara pompa tangan mengucurkan air lalu ditampung di sebuah ember
bekas cat. Digayungnya air lalu dibasuhnya tangan, kaki dan wajahnya lalu
berjalan kembali ke pintu lapuk tadi.
Dibalik pintu kayu lapuk yang
terbuka samar sinar matahari siang yang masuk karena terhalang gedung
perkantoran bertingkat di lahan sebelah. Didalam ruangan sempit itu terlihat hamparan
tikar plastik yang di salah satu ujungnya dekat sekat pemisah sudah mulai
melepaskan jahitannya. Di sudut itu pula ditumpuk pakaian yang jumlahnya tidak
banyak. Tersisa sedikit lantai semen digunakan untuk menyimpan kompor dan
disebelahnya sebuah baskom plastik berisi beberapa piring, gelas dan sendok. Disebelahnya
lagi tertata segaris adalah rantang berisi sayur, sebuah mangkok berisi
beberapa potong tempe
goreng lalu cerek air minum. Digantung dengan paku diatas kompor dua buah panci
yang kecil dan agak besar yang penyok disana sini serta sebuah wajan.
Iqbal sudah mengganti bajunya. Baju dan
celana sekolahnya digantungnya di sebuah paku di atas tumpukan baju. Dilihatnya
lagi baju kaos lengan panjang berwarna putih seragam dari sekolahnya.
Dipandanginya sebuah gambar seperti pendar cahaya matahari di saku baju itu.
Dibawah gambar itu tertulis “TK Dian”. Iqbal lalu duduk di tikar menunggu
ibunya menuangkan nasi, meletakkan sepotong tempe goreng dan menanyakan apakah mau
dituang sayurnya sekalian. Iqbal
mengangguk lalu mengambil tas punggung sekolahnya dan mengeluarkan botol
minuman serta kotak makanan. Tempat minum bergambar gajah terlihat sudah mulai
kecokelatan karena terlalu sering diisi dengan air teh. Bagian tutupnya sudah
tidak rapat lagi. Lalu kotak makanan dari plastik berwarna hijau dengan tutup
putih itu pun sudah hampir sama nasibnya. Karena itu ibunya tidak lupa untuk
selalu mengikatkan karet gelang ke kotak makanan itu agar isinya tidak tumpah.
Diterimanya
sepiring nasi dari tangan ibunya lalu duduk bersila di tikar menunggu ibunya
duduk di sebelahnya. Setelah ibunya menyuruhnya makan barulah Iqbal mulai
memotong goreng tempe dengan sendok lalu menyendok nasi. Lahap dikunyahnya nasi
dan lauk tempe itu.
”Tadi Iqbal belajar menggambar bu”, kata Iqbal
sambil mengunyah.
”Gambar apa?”, tanya ibunya sambil menuangkan
minum dan diletakannya disamping Iqbal.
”Gambar bebek lagi bernang di kali”, kata Iqbal
lagi sambil mengambil buku gambarnya dari tas dan memamerkan kepada ibunya.
Terlihat gambar seekor bebek berwarna kuning dengan paruhnya yang merah dan
bentuknya lebih mirip angka 2 ketimbang bebek. Lalu setengah halaman buku
gambar itu diberi warna biru acak-acakan yang menurut Iqbal adalah kali.
Ibunya menatap Iqbal sambil tersenyum.
Dipandangi wajah anaknya yang sedang lahap makan sambil melihat hasil gambar
bebeknya dengan bangga. Bahagia rasanya bisa menyekolahkan anak satu-satunya
itu ke sekolah taman kanak-kanak meski berhutang sana-sini untuk mendaftar. Beruntung
sekolah taman kanak-kanak itu juga tidak keberatan untuk dibayar mengangsur
sebanyak 3 kali. Ibunya juga yakin jika ayahnya Iqbal yang sudah dua tahun lalu
meninggal pasti ikut tersenyum disana. Dan entah sampai kapan ibunya akan
berusaha sampai Iqbal bisa meneruskan sekolah.
Orang
tua Iqbal adalah pemulung. Ayahnya Iqbal hanya bersekolah sampai kelas 6
sedangkan ibunya hanya sampai kelas 3 sekolah dasar. Saat Iqbal berumur tiga
tahun, suaminya sakit tuberkulosis. Mungkin karena terlalu giat bekerja
memulung kadang sampai larut malam ditambah sering bergumul dengan sampah
menyebabkan kondisi tubuhnya lemah. Jauh sebelum Iqbal lahir, mereka berdua
tidur di emperan toko atau di kolong jembatan. Sampai akhirnya mereka bisa
mengumpulkan uang dan menyewa sebuah bilik di suatu lahan yang dimiliki oleh
bos pemulung. Kepada bos itulah para
pemulung menyetor hasil memulung dan mendapatkan sejumlah uang. Kantong plastik
bekas, gelas plastik, botol beling, botol plastik, barang rongsok, besi karat,
koran bekas, majalah bekas dan sebagainya yang bisa didaur ulang. Disini, dikelilingi
tumpukan barang rongsok dan sampah daur ulang Iqbal lahir. Meski demikian
sebelum meninggal suaminya berpesan agar sang istri semampunya menyekolahkan
Iqbal.
”Temen Iqbal si Reza, si Dita, si Kemal punya
kotak makanan bagus deh bu. Ada kancingnya jadi bisa dikonci. Ceklek. Gitu.
Jadi makanannya gak bakalan tumpah. Oya si Desi ama Rizki juga punya!”, kata
Iqbal sambil menghabiskan sesuap nasi terakhir. Sesaat ibunya tertegun.
Diteguknya minum mendorong makanan yang terasa mengganjal di tenggorokan lalu
cepat-cepat dihabiskannya makanannya. Dikumpulkannya piring-piring bekas mereka
makan. Dengan sigap Iqbal membawanya keluar lalu memasukkannya kedalam sebuah
ember yang sudah tidak jelas warnanya dan membawanya ke bilik MCK lalu
mencucinya. Kembali dari mencuci piring, Iqbal bersiap mengikuti ibunya untuk
memulung. Dipakainya topi satu-satunya yang sudah lusuh dan mengambil karung
plastik bekas. Ditunggunya sang ibu yang membersihkan tikar dengan sapu lidi.
Setelah menutup pintu kayu lapuk dan menggemboknya, ibu dan anak itu segera menyusuri
jalanan kota keluar masuk perumahan dari tempat sampah satu ke tempat sampah
lain. Hari sudah siang dan mereka harus secepatnya berkeliling karena bersaing
dengan pemulung lain. Mereka berharap bisa mengumpulkan banyak barang bekas
hari ini untuk penyambung hidup mereka.
Seperti
umumnya pemulung, mereka bekerja dalam diam tidak terkecuali Iqbal. Namun hari
ini Iqbal terus bercerita tentang kotak makanan milik teman-temannya yang bisa
dikunci. Iqbal juga bertanya kira-kira berapa harga kotak makanan itu. Sang ibu
hanya diam tetapi hatinya perih. Dia ingin membahagiakan Iqbal. Dia tidak tega
jika Iqbal ikut memulung bersama dirinya. Tetapi Iqbal selalu memaksa dengan
alasan menemani ibu. Si ibu
tahu jika sebenarnya Iqbal sangat menginginkan kotak makanan seperti milik
temannya. Tetapi Iqbal memang anak yang sudah mengerti di usianya yang baru 5
tahun. Iqbal seakan tahu bagaimana kehidupan mereka dan ketidak hadiran ayah
diantara mereka, Iqbal tidak pernah memaksa untuk dibelikan sesuatu.
Sudah dua bulan semenjak Iqbal bercerita
tentang kotak makanan milik teman-temannya. Dan sejak itu pula Iqbal tidak
bercerita lagi. Setiap hari Iqbal tetap bersemangat untuk bersekolah. Dan
setiap hari ibunya tidak lupa mengikat kotak makanan Iqbal dengan karet agar isinya
berupa roti yang dibeli dari tukang roti pikul itu tidak meloncat keluar kotak
dan tergeletak diantara buku menggambar. Jika hari ini roti yang dibawa Iqbal
berisi cokelat maka esoknya roti berisi moka atau nanas atau kacang. Kadang
Iqbal juga membawa nasi dengan lauk tempe atau tahu goreng atau telur mata sapi
yang diberi kecap sehingga nasinya terlihat menghitam. Air minum yang dibawa
Iqbal kadang teh manis atau teh tawar dan lebih sering air minum biasa. Dan
sekarang tutup tempat minumnya harus pula diganjal plastik lalu diikat karet
agar tutupnya tidak terbuka lalu isinya membasahi tas buku gambarnya.
Suatu
hari Iqbal terlambat pulang dan saat pulang wajahnya berseri mendekat ke
ibunya. Diacungkannya selembar uang Rp.5000 sambil tersenyum. Senyumnya
menghilang manakala melihat kedua mata ibunya yang melotot dan wajah marah.
Ditariknya tangan Iqbal seraya membentak, ”Kamu minta-minta ya? Ibu sudah
bilang jangan jadi tukang minta-minta! Kita miskin tapi kita bukan tukang minta-minta! Ngerti kamu?”
”Bukan bu. Iqbal bukan minta-minta bu...”, kata
Iqbal memelas. Kedua bola matanya kini basah dan wajahnya ketakutan. Iqbal ingat persis bagaimana pesan ibunya
agar tidak mengemis dan Iqbal mematuhinya.
”Jadi dari mana kamu dapat uang?”, tanya ibunya
tanpa melepaskan tangan Iqbal.
”Tadi Iqbal bantuin bapak-bapak angkatin barang
bu. Iketan barangnya lepas trus barangnya jatoh dari motor. Trus Iqbal dikasih
uang. Iqbal ga minta kok bu...”, kata Iqbal berusaha keras menahan tangis namun
sia-sia sebab dua tetes air mata terlanjur mengalir di pipinya. Ibunya
melepaskan tangan Iqbal. Melihat wajah Iqbal penuh sayang lalu menarik kepala
Iqbal ke pelukannya seraya meminta maaf.
”Buat ibu...”, kata Iqbal mengulurkan uang.
”Buat Iqbal aja, buat nabung ya!”, kata si ibu penuh
haru dan mengusap air mata dari pipi Iqbal dengan ujung baju kaosnya. Iqbal
mengangguk dan tersenyum lalu memasukkan uang Rp.5000 itu kedalam kaleng bekas
susu formula bayi dan menyimpannya lagi di sudut ditutupi tumpukan pakaian.
Suatu
hari si ibu mengajak Iqbal masuk ke sebuah pusat belanja. Siang itu mereka
tidak memulung. Si ibu dan Iqbal memakai pakaian terbaiknya. Iqbal memakai baju
kaos bergambar logo sebuah klub sepak bola luar negeri dengan celana sebetis
berbahan jins. Si ibu mengenakan baju panjang berbahan batik berwarna merah
yang sudah mulai pudar warnanya dipadu dengan celana bahan berwarna hitam yang
kancingnya menggunakan peniti. Tidak ketinggalan kerudung putih kekuningan
bergambar bunga-bunga kecil. Keduanya masuk kedalam supermarket dan Iqbal
langsung tertarik pada rak berisi banyak sekali mainan. Ibunya membiarkan saja
Iqbal memainkan mainan-mainan itu dengan pesan hati-hati jangan sampai rusak.
Bagi mereka, pusat perbelanjaan adalah tempat hiburan yang sangat terjangkau.
Udaranya sejuk dan banyak barang yang dilihat. Beberapa barang diantaranya sering
mereka pulung dari tempat sampah di suatu perumahan elit. Kadang barang-barang
di tempat sampah itu hanya rusak sedikit atau sobek sedikit. Tetapi untuk apa
memperbaikinya sebab mereka bisa membeli lagi yang baru.
Mereka
tiba di deretan rak penuh peralatan terbuat dari plastik, besi dan besi anti
karat. Si ibu memegang sebuah panci yang sangat diinginkannya. Lalu sendok,
garpu, gelas, wajan dan semuanya. Dibayangkannya semua itu masuk kedalam bilik
sempitnya. Ah, tidak akan. Tidak akan terbeli semua peralatan masak yang
terlihat bersinar dibawah cahaya lampu super market itu. Lagipula tidak pantas
rasanya barang-barang itu ada didalam biliknya. Tiba-tiba Iqbal datang menarik
tangannya dan setengah menyeretnya mengajak ke deretan rak di sebelah. Disana
Iqbal langsung menunjuk ke sebuah rak yang memamerkan aneka kotak makanan. Di
deretan rak nomor 3 terletak kotak makanan yang menggunakan kunci seperti yang
pernah Iqbal ceritakan. Warna dan gambar di kotak itu beraneka macam. Iqbal
menunjuk sebuah kotak berwarna biru dengan gambar tokoh kartun pahlawan super
yang menggunakan topeng dan baju ketat berwarna merah.
”Itu yang seperti punya Rizki ama Reza
bu!”, pekik Iqbal dengan kagum. Ibunya meraih kotak makanan berwarna biru itu.
Dirabanya kotak plastik itu lalu Iqbal memintanya untuk melihat. ”Iya bu ini.
Nih bu ada kuncinya nih. Liat ya bu, liat”, kata Iqbal sambil mengangkat kunci
kotak makanan itu. Terdengar bunyi ”klak” saat kunci kotak makanan itu dibuka.
Tutupnya terbuka dan terangkat sedikit. Perlahan Iqbal membuka tutup kotak
makanan itu. Terlihat oleh mereka satu set sendok garpu tersusun rapi pada
tempatnya. Iqbal mengangkat tempat sendok garpu tadi dan terlihat ruang kosong
tempat menyimpan makanan. Dinding kotak makanan itu dilapis dengan bahan kedap
yang dapat menjaga makanan tetap hangat bahkan dingin.
”Bagus ya bu?”, tanya Iqbal sambil
tersenyum pada ibunya. Ibunya mengangguk lalu melihat harga kotak makanan itu
yang ditempel di bibir rak. Hampir tidak percaya matanya melihat harga yang
dibaca, Rp.99.500,-. ”Iqbal...”, kata ibunya lirih nyaris tidak terdengar.
Iqbal melihat ke arah telunjuk ibunya. Iqbal memperhatikan angka yang tertera
disana dan mulutnya ternganga. ”Mahal ya bu...”, kata Iqbal tertunduk sambil
tetap memegang kotak makanan itu. Si ibu melihat kesedihan di wajah anaknya dan
hatinya tercabik. Diambilnya kotak makanan itu dari tangan anaknya.
Dirapihkannya dan dikembalikannya ke tempat semula. Beberapa orang ibu-ibu
lewat di depan mereka memilih barang. Mereka mendorong kereta belanja yang rata-rata
sudah terisi bahkan dua buah kereta belanja terisi penuh. Salah seorang dari
ibu-ibu itu mengambil kotak makanan yang tadi dipegang Iqbal. Diperhatikannya
kotak itu lalu dibuka kuncinya, melihat kedalam, meraba-raba dindingnya lalu
menutup kembali. Diletakannya kotak makanan berwarna biru itu lalu diambilnya
sebuah lagi kotak makanan berkunci itu. Kali ini berwarna merah. Dibuka dan
diperiksanya. Setelah yakin isinya lengkap, kotak makanan itu berpindah ke
kereta belanjanya lalu mendorongnya menjauh dari Iqbal dan ibunya.
Ibunya
menggandeng tangan Iqbal mengajaknya pulang. Dalam perjalanan pulang mereka
berdua hanya diam. Si ibu tahu jika Iqbal sangat menginginkan kotak makanan itu
tetapi anak itu tidak akan merengek minta dibelikan. Keinginannya hanya
disimpan dalam hati. Si ibu menggenggam erat dompetnya dan berpikir keras
bagaimana cara mendapatkan uang tambahan untuk membeli kotak makanan itu. Tidak
mungkin meminjam tetangga karena mereka sama susah. Meminjam dari bos juga
tidak mungkin sebab masih ada ada hutang saat membayar sekolah Iqbal.
Satu-satunya jalan adalah dia harus memulung malam hari. Seandainya ayah Iqbal
masih ada tentunya beban bisa dipikul bersama. Wajahnya terasa panas dan
tenggorokannya seakan tercekik tangan yang tidak terlihat. Dipalingkannya
wajahnya saat terasa air mata mulai keluar dari tempatnya. Sabar Iqbal sayang,
katanya dalam hati saat mereka sampai di depan pintu kayu yang lapuk itu.
Musim
panas lewat sudah dan sekarang musim hujan tiba. Hujan di awal musim membuat
banyak orang khawatir karena banjir. Berita di media menyebutkan banjir
dimana-mana tidak terkecuali tempat tinggal para pemulung. Kebetulan
bersebelahan dengan lahan pemulung itu mengalir sebuah kali. Banjir juga kadang
masuk kedalam gubuk-gubuk pemulung itu membuat mereka tidak berkutik dan hanya
pasrah. Dibalik musibah banjir ada juga yang justru mendapatkan rejeki. Mereka
adalah para pemulung tidak terkecuali ibunya Iqbal. Sedikit demi sedikit hutang
mulai berkurang dan yang lebih membuat ibunya Iqbal senang adalah bisa menabung
untuk membelikan kotak makanan.
Hari itu si ibu ingin membuat kejutan
untuk Iqbal. Uang sebesar
Rp.150.000 berada dalam dompetnya. Si ibu berencana untuk membeli kotak makanan
yang diinginkan Iqbal dan sisanya untuk pembeli tempat minumnya. Sejak pagi
Iqbal berangkat sekolah gerimis tidak kunjung henti. Tetapi saat kakinya menginjak lantai utama pusat
perbelanjaan, gerimis berhenti seakan mengerti. Ditutupnya payung besar yang
salah satu ujungnya mengeluarkan rangka payung karena jahitannya lepas. Dititipnya payung itu di tempat penitipan
barang, mengambil keranjang belanja lalu bergegas masuk supermarket. Di rak
tempat barang-barang plastik, diambilnya hati-hati kotak makanan berwarna biru.
Tersenyum dibukanya kunci kotak makanan itu dan terdengar bunyi ”klek” lalu
tutupnya terbuka sedikit. Diperiksanya isi kotak makanan itu seperti yang dia
lihat sebelumnya saat seorang ibu memeriksa kotak makanan dan memasukannya
kedalam kereta belanja. Sekarang kotak makanan itu sudah masuk kedalam
keranjang belanja. Lalu si ibu menuju rak berikutnya tempat botol minuman
berjajar aneka warna. Dipilihnya botol minuman yang berwarna biru pula dan
dengan harga dari uang yang tersisa. Masih ada sisa sedikit uang tetapi si ibu
berencana untuk menambah tabungan Iqbal.
Setelah
merasa cukup apa yang menjadi tujuannya di supermarket si ibu mengantri di
kasir. Semua kasir penuh dengan orang-orang yang mau membayar. Diliriknya kereta
belanja yang penuh berisi bahan makanan. Sebagian lagi ada juga yang menenteng
keranjang belanja seperti dirinya. Dia menunggu dengan sabar untuk gilirannya
membayar. Sambil menunggu dibayangkannya Iqbal yang pasti akan senang. Setelah
membayar, si ibu menuju tempat penitipan barang dan mengambil payungnya lalu
bergegas keluar dari pusat perbelanjaan.
Di
luar rupanya hujan sangat deras. Banyak orang-orang yang menunggu hujan reda
sebelum melanjutkan pergi. Beberapa orang tidak perlu kehujanan karena mobil
menjemput mereka dibawah atap pelataran pusat perbelanjaan. Beberapa orang lagi
terlihat kembali kedalam pusat perbelanjaan dan keluar menggunakan payung yang
baru dibeli. Si ibu memegang erat payung bututnya. Tidak mungkin menerobos
hujan yang deras dengan payung itu. Maka ditunggunya hujan sedikit reda dengan
sabar. Hampir setengah jam si ibu dan orang-orang menunggu hujan cukup reda
lalu membuka payungnya dan berjalan pulang diiringi suara petir yang
menggelegar.
Di
pinggir jalan yang basah karena hujan dekat lahan tempat gubuk-gubuk pemulung
itu tinggal terlihat banyak kerumunan orang. Si ibu heran sebab beberapa orang banyak
yang tidak dikenalnya. Lalu mobil ambulans dan beberapa sepeda motor. Tiba-tiba
hatinya gelisah dan jantungnya berdebar. Setengah berlari si ibu menghampiri
kerumunan orang banyak itu dan bertanya, ”Ada apa?”. ”Ada anak kelelep”, kata
seorang bapak yang mengenakan kaos lambang sebuah partai. Si ibu melihat orang
berkerumun di depan pintu lapuk gubuknya. Dan saat si ibu melihat beberapa
tetangganya yang ikut berkerumun disana dengan tatapan kasihan, dia berteriak
”Iqbal!”.
Si ibu masuk dan seakan tidak percaya
melihat tubuh anaknya yang terbujur pucat di tikar. Dipeluknya jasad Iqbal sambil
menangis membuat para perempuan yang ada disana ikut menangis. Beberapa saat si
ibu memeluk jasad anaknya, mengguncangnya, menepuk pipinya berharap Iqbal hanya
pingsan. Baju Iqbal yang bertuliskan TK Dian itu basah. Iqbal dan
teman-temannya bermain di kali sepulang sekolah. Rupanya hujan membuat hulu
sungai banjir dan airnya memasuki kali kecil di belakang lahan pemulung itu.
Arus yang deras menyeret bocah-bocah itu. Mereka bisa diselamatkan namun Iqbal
yang tubuhnya paling kecil dan kurus itu tenggelam cukup lama karena tertutup
oleh batang kayu besar dan sampah. Tidak ada yang dapat dilakukan para penolong
setelah berhasil meraih tubuh Iqbal.
Kini si ibu hidup sendiri di gubuknya. Iqbal
telah dimakamkan. Para tetangga yang menghibur dan menemaninya sudah kembali ke
gubuk masing-masing. Dalam kesendirian itu dilihatnya kaleng bekas susu formula bayi yang menjadi celengan Iqbal. Dibukanya tutup kaleng itu dan dilihatnya uang logam dibawah dan beberapa uang kertas seribuan yang kumal dan di paling atas adalah selembar uang kertas Rp.5000. Ditutupnya lagi kaleng susu itu lalu melihat tas Iqbal di sudut.
Rupanya Iqbal sempat pulang dan menyimpan tasnya sebelum musibah itu terjadi.
Dibukanya tas Iqbal dengan sayang. Dilihatnya kotak makanan Iqbal yang belum
sempat dikeluarkan. Teringat si ibu akan kotak makanan yang dibelinya untuk
Iqbal. Diambilnya kotak makanan itu dan dipeluknya. Disesali dirinya yang tidak segera pulang menunggu
anaknya. Mengapa tidak pulang saja. Mengapa harus menunggu hujan reda. Dan
banyak lagi mengapa lainnya. Lalu dilihatnya buku gambar Iqbal. Diambil dan
dibukanya buku gambar itu. Helai demi helai buku gambar itu dibuka lalu
terhenti di helai bergambar bebek berwarna kuning dengan paruh merah. ”Gambar
bebek lagi bernang di kali”, demikian kata Iqbal waktu itu. Lalu air mata si
ibu mengalir deras seperti hujan dan banjir di kali yang deras yang
menghanyutkan anaknya.
No comments:
Post a Comment